Pada umur 10 (sepuluh) tahun, Syekh Mas’ud dikirim ayahnya ke Desa Sarwadadi Kawunganten untuk belajar al-Qur’an kepada Kyai Hanafi, kurang lebih selama dua tahun. Kemudian meneruskan belajar ke Mojosari, Kebumen. Syekh Mas’ud tekun mempelajari dan menghafal Kitab Alfiyah Ibn Malik kepada kyai Badrudin selama empat tahun.
Setelah dia selesai menghafalkan dan memahami Alfiyah dengan baik. Syekh Mas’ud melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Jampes, Kediri. Di sini Syekh Mas’ud menimba ilmu kepada Syekh Ikhsan bin Dahlan, salah seorang ulama yang karyanya, Siraj At-Thalibin dan Minhaj Al-‘Abidin dijadikan buku wajib untuk kajian post-graduate di Al-Azhar dan beberapa perguruan tinggi lainnya.
Tujuh tahun mempelajari beberapa kitab kuning di Pondok Pesantren Al-Ikhsan, Jampes. Syekh Mas’ud mulai tertarik untuk mempelajari ilmu fiqh dan Balaghah.Ketekunannya mempelajari Ilmu Balaghah mengantarkan Syekh Mas’ud sebagai Juara Penguasaan Ilmu Balaghah tingkat Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Masih di Kediri, Syekh Mas’ud kemudian meneruskan belajarnya di Pondok Pesantren Darul Hikam, Bendo, Pare. Di pesantren ini, Syekh Mas’ud meneruskan untuk mendalami ilmu fiqh, Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqh dengan sungguh-sungguh. Selama kurang lebih 10 tahun, di Pesantren Bendo Pare inilah Syekh belajar bersama dengan KH. Sahal Mahfud (Kajen, Pati) dan Kyai Sam’ani (Jember). Ketiganya terbiasa mengadakan diskusi kecil-kecilan, saling tukar pengetahuan, memanfaatkan waktu luang untuk bermusyawarah.
Selain belajar di beberapa pesantren untuk jangka waktu yang cukup lama, ia juga melakukan tabarukan ke berbagai pesantren. Dia pernah tabarukan ke Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah kepada KH. Zubair. Dia juga pernah tabarukan ke Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur kepada KH. Wahid Hasyim.
Syekh Mas’ud menghabiskan masa mudanya di pesantren-pesantren yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hampir tigapuluh tahun ia berada di pesantren untuk menuntut ilmu. Setelah menyelesaikan belajarnya di pesantren, dia pulang ke kampung halamannya, sekitar tahun 1960-an. Satu tahun dia menetap di Kawunganten, Cilacap, Syekh Mas’ud kemudian menikah dengan Maysyaroh, putri KH. Suhaimi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah, Benda, Sirampog, Brebes, Jawa Tengah dan dikarunia 5 orang anak.
Pada tahun 1966 M, Syekh Mas’ud mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB), setingkat sekolah dasar untuk memberikan kemudahan kepada anak-anak yang haus akan ilmu umum dan memudahkan mereka dalam memperoleh ilmu karena tidak lagi harus jauh-jauh sekolah ke kota yang jaraknya puluhan kilometer. Madrasah Wajib Belajar yang digagas Syekh Mas’ud menorehkan “dunia pendidikan” di Kecamatan Kawunganten. Madrasah Wajib Belajar bernaung dibawah Lembaga Pendidikan Ma’arif. Pada tahun 1968 M, MWB berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU). Tahun 1970 bergabung dengan Yayasan Al-Kaff, dan berganti nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda. MI Nurul Huda pernah berganti nama menjadi Sekolah Dasar Islam kemudian berubah lagi menjadi Madrasah Ibtidaiyah Sultan Agung, sampai sekarang (2013)
Syekh Mas’ud juga mendirikan Pondok Pesantren untuk menampung masyarakat yang ingin belajar agama Islam secara mendalam pada tahun 1967 di atas tanah milik keluarganya yang masih kosong. Pesantren tersebut ia beri nama Pondok Pesantren Al-Barokah Salafiyyah. Santrinya terus bertambah, tidak hanya berasal dari Kabupaten Cilacap saja, akan tetapi ada yang datang dari luar daerah. Rata-rata dari mereka belajar di pondok pesantren Al-Barokah karena ingin mempelajari ilmu fiqh, suatu disiplin ilmu yang dikuasai dengan baik oleh Syekh Mas’ud.
Syekh Mas’ud kemudian mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) pada tahun 1969 M. PGA yang didirikan oleh Yayasan Nurul Huda kurang mendapat respon dari masyarakat. Jumlah murid tidak terlalu banyak, karena masyarakat kurang antusias untuk menjadi guru agama. Pada tahun 1975, PGA dirubah menjadi Madrasah Tsanawiyyah. Perubahan PGA menjadi MTs juga kurang mendapat respon positif. Masyarakat lebih untuk memilih sekolah yang berbasis umum, seperti SD, SMP atau SMA. Ahirnya pada tahun 1977, MTs dirubah lagi menjadi Sekolah Menengah Pertama Sultan Agung (SMP Sultan Agung). Setelah berganti nama, jumlah murid yang belajar di SMP Sultan Agung mulai mengalami peningkatan, sampai sekarang (2013). Syekh Mas’ud juga berperan dalam proses berdirinya Sekolah Menengah Atas Jendral Ahmad Yani, satu-satunya sekolah tingkat menengah atas yang ada di Kecamatan Kawunganten saat itu, dan tetap berdiri kokoh sampai sekarang (2013).
Selain pendidikan formal, Syekh Mas’ud juga memiliki Jamaah Pengajian sebagai media dakwah bagi masyarakat. setiap kali mengisi pengajian Syekh Mas’ud tidak terlalu banyak memberikan ceramah keagamaan, akan tetapi lebih banyak meluangkan waktu pengajian tersebut untuk tanya jawab untuk materi Aqidah, Hukum atau fiqh, Akhlak, Tafsir, dengan metode ceramah, tanya jawab dan praktek; menyampaikan ajaran Islam juga memberikan contoh atau praktek langsung.
Setelah menetap beberapa tahun di Kecamatan Kawunganten, Syekh Mas’ud mulai berperan di Organisasi Nahdlatul Ulama (NU), terutama karena kemampuannya dalam bidang hukum Islam, yaitu Bahtsul masail. Syekh Mas’ud menjadi tumpuan bagi peserta Bahtsul Masail lainnya. Di samping karena keahliannya dalam bidang penentuan sebuah hukum, ia sudah terbiasa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang biasanya diajukan oleh peserta pengajian yang diasuhnya, yang kebanyakan dari pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan ketetentuan hukum Islam.
Syekh Mas’ud kemudian diangkat menjadi Rais Suriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Cabang Kabupaten Cilacap. Sejak berkiprah di NU, Syekh Mas’ud pengaruhnya bertambah luas sampai ke PBNU. Syekh Mas’ud dikenal dekat dengan Gus Dur, terutama setelah ia membawa karya Syekh Ihsan kepada KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk diterbitkan.
“Kiai Mas’ud bukan sembarang kiai. Ia diakui amat dalam pengetahuannya di bidang hukum agama. la menguasai peralatan untuk mengambil keputusan hukumn fiqh, berupa teori hukum (usul fiqh) dan pedoman hukum (qawa’id fiqh). Kedua ‘alat’ itu memang harus dikuasai sempurna, kalau ingin menghasilkan keputusan-keputusan hukum agama yang ‘berkualitas tinggi’, hingga layak disebut “Syekh”.
“Di tahun lima puluhan, yang di panggil syekh adalah Kiai Masduki dari Lasem, karena penguasaannya atas buku teks (kitab) utama di bidang teori hukum, yaitu kitab Jam’ul Jawami. Tahun-tahun delapan puluhan ini rupanya sudah ada pengganti Syekh Masduki Lasem, yang sudah sekian tahun wafat. Dan dia itulah Kiai Mas’ud dari Kawunganten, Cilacap. Orangnya sederhana. Dalam pergaulan sangat bersikap rendah hati kepada orang lain, bahkan kepada yang lebih muda umurnya sekalipun. Suaranya tidak pernah dikeraskan. Penampilannya adalah penampilan kiai ‘kampung’ yang tidak ada ‘kegagahan’nya sedikit pun. Tetapi, di balik penampilan ‘biasa-biasa saja’ itu tersembunyi sesuatu yang tidak disangka-sangka: kekerasan hati untuk melakukan pengejaran, yang mungkin tidak akan pernah berhenti: mengejar buku-buku teks agama secara tradisional digunakan di pesantren, atau seharusnya diajarkan di dalamnya”(KH. Abdurrahman Wahid / Gus Dur, 1982)
Pemikiran dari Syekh Mas’ud tertuang dalam beberapa tulisannya yang ia tulis semasa dia menjadi pengasuh pesantren dan pengajian rutin hari Minggu. Tulisan-tulisan itu biasanya ia buat setelah mengadakan pengajian rutin atau setelah mengahadiri acara Bahtsul Masail. Pertanyaan-pertanyaan dari jamaah pengajian yang telah ia jawab kemudian ditulisnya dalam sebuah buku. Hal tersebut ia lakukan agar apa yang telah disampaikannya jangan sampai hilang dan juga karena kegemarannya untuk menulis catatan-catatan kecil atas pertanyaan dari jamaah. Tulisan-tulisannya sebagian besar berisi jawaban atas permasalahan hukum Islam, walaupun tidak jarang dari tulisannya terdapat tulisan yang membahas masalah lain, seperti tafsir, tauhid, akhlak dan sebagainya.
Tanya jawab tersebut di atas adalah sebagian dari jawaban-jawaban Syekh Mas’ud ketika sedang mengisi pengajian rutin hari Minggu atau pendapatnya dalam kegiatan Bahtsul Masail. Jawaban-jawaban yang ditulisnya di dalam buku catatan itu merupakan sedikit penajabaran atas pemikiran Syekh Mas’ud yang oleh kalangan ulama dan masyarakat Kabupaten Cilacap dijadikan tumpuan dalam permasalahan agama Islam.
Ketika Syekh Mas’ud menunaikan ibadah haji pada tahun 1964 M, dia bertemu dengan Syekh Yasin bin Isa di Makkah. Syekh Yasin merupakan ulama Mekkah yang nenek moyangnya berasal dari Padang Sumatra Barat, sosok ulama Indonesia yang namanya terukir dengan tinta emas karena keluasan ilmu yang dimilikinya.
Syekh Yasin mengakui kedalaman ilmu Syekh Mas’ud terutama pemahamannya dalam bidang ilmu fiqh. Syekh Mas’ud menggunakan kesempatan pertemuan itu untuk belajar kepada Syekh Yasin bin Isa Al-Fadani beberapa kitab yang belum sempat dia pelajari semasa di pesantren dulu. Dia meminta ijazah atas kitab-kitab yang belum dipelajari kepada Syekh Yasin bin Isa. Setelah pertemuan itu, Syekh Mas’ud sering kirim surat kepada Syekh Yasin.
Syekh Mas’ud juga pernah bertemu dengan Syekh Yasin bin Isa Al-Fadani, yaitu ketika Syekh Yasin berkunjung ke Indonesia pada tahun 1990 M. Syekh Mas’ud bahkan sering diajak bermusyawarah dan berkorespondensi dengan mereka untuk menyelesaikan permasalahan fiqh yang melibatkan ulama-ulama Timur Tengah.
Hingga menjelang akhir hayatnya, Syekh Mas’ud tidak pernah berhenti untuk mempelajari kitab kuning sebagai rujukan ajaran agama Islam. Bahkan ketika dia sembuh dari sakit strok yang menimpanya selama lima tahun, dia terus melanjutkan kegiatanya untuk memburu dan mempelajari kitab-kitab yang ia dapat dan belum sempat dipelajarinya. Ia sering mendapatkan kiriman kitab dari Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani (Makkah) dan juga dari Lembaga Keagamaan yang ada di Turki.
Hasil perburuan Kitab-Kitab Rujukan (Maraji’) tersebut kemudian dijadikan referensi oleh Syekh Mas’ud, untukKarya beliau berjudul “Masailusy Syatta”, yang berisi tentang tanya jawab masalah-masalah agama (Waqi’iyyah) yang terjadi dan berkembang di masyarakat. Kitab tersebut terdiri dari dua jilid, disempurnakan penyusunannya dan diberi penjelasan (Syarah) oleh putera beliau yang bernama Khazim Mas’ud (Gus Hazim). Kitab tersebut kini tersedia di Pondok Pesantren Al Barokah, Kawunganten, dan bisa didapatkan oleh masyarakat umum.
Hari Sabtu tanggal 5 Maret 1994 M atau bertepatan dengan tanggal 22 Ramadlan 1414 H, Syekh Mas’ud menghembuskan nafas terahir. Dia meninggal dunia mengahadap kehadirat Allah SWT pada usia 68 tahun. Syekh Mas’ud dimakamkan di kompleks Pesantren Al Barokah untuk mempermudah masyarakat berziarah. Hingga saat ini, makamnya banyak diziarahi masyarakat sekitar dan dari luar daerah. (Kang Nawar)
Sumber Tulisan: Biografi Syaikh Ma’sud Desa Kawunganten Lor Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap, (Skripsi Aziz Nur, Mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2010)