BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 30 April 2017

HASIL MUSYAWARAH KITAB, Jama' Qoshor


HASIL MUSYAWARAH KITAB DI MASJID NURUL HUDA PURWAYASA
MALAM AHAD, 30 JULI 2016.
1.        Bagaimana hukumnya meng qoshor sholat sebelum berangkat bepergian, sedangkan dalam kitab-kitab fiqih (syafi’iyyah) disebutkan : Apabila seseorang telah melewati batas desanya, maka ia baru diperbolehkan mengqoshor sholat.
المجموع شرح المهذب ج : 4 ص : 228
(فرع) في مذاهب العلماء ذكرنا أن مذهبنا أنه إذا فارق بنيان البلد قصر ولا يقصر قبل مفارقتها وإن فارق منزله وبهذا قال مالك وأبو حنيفة وأحمد وجماهير العلماء وحكى ابن المنذر عن الحارث بن أبي ربيعة أنه أراد سفرا فصلى بهم ركعتين في منزله وفيه الأسود بن يزيد وغير واحد من أصحاب ابن مسعود قال وروينا معناه عن عطاء وسليمان بن موسى قال وقال مجاهد لا يقصر المسافر نهارا حتى يدخل الليل قال ابن المنذر لا نعلم أحدا وافقه
Kitab Majmu’ Syarah Al Muhadzab (Abi Zakariya muhyiddin Yahya bin Syarof An Nawawi) juz 4 halaman 228 :
(Cabang Masalah) : Didalam beberapa pendapat ulama madzhab disebutkan bahwa madzhab kita (Syafi’iyah) berpendapat  : Apabila seseorang telah melewati batas desa, maka diperbolehkan meng qoshor sholatnya. Dan tidak boleh meng qoshor apabila belum melewatinyanya walaupun sudah melewati rumahnya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama.
Diceritakan oleh Ibnul Mundzir dari Al Harits bin Abi Rubai’ah : bahwasanya ketika ia akan melakukan perjalanan, maka ia sholat berjama’ah dengan kaumnya dua rokaat dirumahnya (sholat qoshor). Pendapat ini didukung oeh Al Aswad bin Yazid dan tidak hanya satu dari shohabat-shohabatnya Ibnu Mas’ud. Beliau berkata : saya juga meriwayatkan pendapat yang searti dengan riwayat diatas dari ‘Atho dan Sulaiman bin Musa beliau berkata  : Dan berkata Imam Mujahid  : Seseorang yang bepergian diwaktu siang hari tidak boleh meng qoshor sholat sehingga masuk waktu malam hari. Ibnu mundzir berkata  : saya tidak mengetahui ada salah satu pun ulama yang sependapat dengannya.

2.        Bagaimana hukumnya menjama’ sholat dikarenakan kesibukan yang tidak seperti biasanya, seperti karena hajatan?
مجموع ج 4 ص 384
( فرع ) فى مذاهبهم فى الجمع فى الحضر بلا خوف ولا سفر ولا مطر ولا مرض : مذهبنا ومذهب ابو حنيفة ومالك وأحمد والجمهور أنه لا يجوز وحكى ابن المنذر عن طائفة جوازه بلا سبب قال وجوزه ابن سيرين لحاجة أو مالم يتخذه عادة إهـ
Majmu’ Juz 4 Hal 384
(Cabang masalah) Pendapat para ulama madzhab dalam hal men jama’ sholat dirumah dengan tidak ada kekawatiran, tidak dalam perjalanan, tidak karena hujan dan tidak karena sakit : Madzhab kita (Syafi’iyah), madzhab Abu Hanifah, Madzhab Imam Malik, Imam Ahmad dan mayoritas ulama berpendapat tidak boleh. Dan Ibnu Mundzir menceritakan dari sekelompok ulama pendapat yang memperbolehkan jama’ dengan tidak ada sebab. Beliau berkata : Ibnu Sirin memperbolehkanya karena ada hajat atau ketika tidak dibuat kebiasaan.
رحمة الأمة ص 40
فصل ولا يجوز الجمع للمرض والخوف على ظاهر مذهب الشافعي وقال أحمد بجوازه وهو وجه اختاره المتأخرون من أصحاب الشافعي قال النووي في شرح المهذب وهذا الوجه قوي جدا وعن ابن سيرين أنه يجوز الجمع من غير خوف ولا مرض لحاجة مالم يتخذه عادة.
Rohmatul Ummah Hal 40  :
Fashl  : Tidak diperbolehkan men jama’ sholat karena sakit dan ketakutan menurut dzohirnya pendapat madzhab Syafi’I, sedangkan Imam Ahmad memperbolehkanya dan pendapat ini yang dipilih oleh ulama mutaakhir dari para pengikut madzhab Syafi’iyah. Imam Nawawi dalam Syarah Muhadzab berkata pendapat ini adalah pendapat yang sangat kuat. Dan diriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwasanya boleh menjama’ sholat dengan tidak ada sebab ketakutan atau sakit, menjama’nya hanya karena ada hajat asalkan tidak dibuat kebiasaan.

3.        Bagaimana sikap ma’mum ketika sudah niat qoshor akan tetapi imamnya itmam (menyempurnakan sholat)?

حاشية الشبراملسي الجز 9 صحفة 177
( وَلَوْ ) ( شَكَّ فِيهَا ) أَيْ فِي نِيَّةِ إمَامِهِ ( فَقَالَ ) مُعَلِّقًا عَلَيْهَا فِي نِيَّتِهِ ( إنْ قَصَرَ قَصُرَتْ وَإِلَّا ) بِأَنْ أَتَمَّ ( أَتْمَمْت ) ( قَصَرَ فِي الْأَصَحِّ ) إنْ قَصْر وَلَا يَضُرُّ تَعْلِيقُهَا عَمَلًا بِالْقَاعِدَةِ أَنَّ مَحَلَّ اخْتِلَالِ النِّيَّةِ بِالتَّعْلِيقِ مَا لَمْ يَكُنْ تَصْرِيحًا بِمُقْتَضَى الْحَالِ وَإِلَّا فَلَا يَضُرُّ . وَالثَّانِي لَا يَقْصُرُ لِلتَّرَدُّدِ فِي النِّيَّةِ ، أَمَّا لَوْ بَانَ إمَامُهُ مُتِمًّا لَزِمَهُ الْإِتْمَامُ ، وَعَلَى الْأَوَّلِ لَوْ قَالَ بَعْدَ خُرُوجِهِ مِنْ الصَّلَاةِ كُنْت نَوَيْت الْإِتْمَامَ لَزِمَ الْمَأْمُومَ الْإِتْمَامُ أَوْ نَوَيْت الْقَصْرَ جَازَ لَهُ الْقَصْرُ ، فَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ لِلْمَأْمُومِ مَا نَوَاهُ الْإِمَامُ لَزِمَهُ الْإِتْمَامُ احْتِيَاطًا .
Hasyiyah Syibromalisi Juz 9 Hal 177  :
Apabila seorang ma’mum ragu tentang niatnya imam kemudian ia menggantungkan niatnya pada niatnya imam, apabila imam meng qoshor maka saya pun meng qoshor, dan apabila imam menyempurnakan sholat maka saya pun menyempurnakannya, Maka makmum tersebut boleh meng qoshor sholat menurut qoul al ashoh jika imam benar meng qoshornya, dan tidaklah bahaya ta’lik (menggantungkan) niat karena mengamalkan qoidah bahwasanya  : cacatnya niat dikarenakan ta’lik apabila keadaannya tidak jelas dengan melihat tuntutan keadaan dan apabila tidak (sesuai) maka berbahaya. Menurut qoul kedua tidak boleh meng qoshor karena masih ragu dalam niat, adapun apabila imam menyempurnakan sholat  maka makmum harus ikut menyempurnakannya. Dan menurut qaul awwal : apabila imam keluar dari sholat, sedangkan makmum baru yakin bahwa niatnya adalah itmam maka wajib itmam, atau niatnya qoshor maka boleh qoshor. Apabila bagi makmum belum jelas apa yang diniati imam maka wajib baginya niat itmam sebagai ihtiyath (yang lebih hati-hati).

4.        Seberapa jauh perjalanan yang memperbolehkan meng qoshor sholat, secara penghitungan kilometer?
Jarak masafatil qoshri  :
·        Versi kitab Tanwirul Qulub                              :    80,64 km
·        Versi Mayoritas Ulama                                    :    119,99988 km
·        Versi Hanafiyyah                                              :    96 km
·        Versi kitab Fiqh Al Islami                                 :    88,74 km
·        Versi Imam Makmun                                       :    89,999992 km
·        Versi Imam Ahmad Husain Al Mishri             :    94,5 km

·        Versi Syarh Yaqut Nafis                                   :    75,6 km.

0 komentar:

Posting Komentar