BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 05 Februari 2019

Permasalahan Uang Pensiunan



Uang Pensiunan Tirkah apa bukan?

Deskripsi masalah :
Seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) meninggal dunia, ia berwasiat agar sepertiga hartanya ditasarufkan untuk faqir miskin. Tentunya istri dan anak-anaknya mendapat pensiunan tiap bulannya selama si istri tidak menikah lagi. Akan tetapi seiring bergulirnya waktu, si istri memutuskan untuk menikah lagi, karena khawatir uang pensiunan diberhentikan, ia menikah tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Pertanyaan :
1.        Apakah uang pensiunan termasuk tirkah ? Jika ya, bagaimana cara menghitung untuk wasiat?
2.        Bagaimana hukum pernikahan tanpa dicatat di KUA ?
3.        Bolehkah melakukan pernikahan tanpa dicatat di KUA dengan motivasi diatas ?
4.        Halalkah uang pensiunan setelah nikah seperti diatas ?
                                                                                   (Pertanyaan dari : PWLBMNU JATENG)
Pembahasan :
1.        Apakah uang pensiunan termasuk tirkah ? Jika ya, bagaimana cara menghitung untuk wasiat ?
Jawaban :
Dana pensiunan PNS bukan termasuk tirkah (harta peninggalan mayat), berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Negara Indonesia yang menjelaskan bahwa sumber dana pensiun tersebut berasal dari APBN/D yang diberikan kepada istri, yang berarti irzaq (pemberian) dan bukan ujroh (upah, gaji) dari hasil kerja suami.
Karena dana pensiunan bukan termasuk tirkah (harta warisan peninggalan mayit), maka tidak dimasukkan dalam penghitungan harta yang diwasiatkan.

Uraian Jawaban :
Uang pensiunan PNS adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pemerintah kepada pegawai negeri/bekas pegawai negeri yang terakhir sebelum berhenti sebagai pegawai negeri atau sebab ia telah meninggal dunia. Pembentukan dan penyelenggaraan suatu dana pensiun ini telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Uang pemberian tersebut telah dianggarkan negara dan diambilkan dari  APBN/D (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah) sebagai jaminan hari tua sekaligus penghargaan atas jasa-jasa mereka dalam dinas pemerintahan.

Uang pensiun ini berasal dari tabungan yang diambil dari sebagian gaji pegawai penerima pensiun sewaktu masih aktif dan jumlah pensiun yang diterima oleh pegawai tersebut setelah pensiun. Jika pegawai penerima uang pensiun tersebut meninggal dunia, maka uang itu akan diberikan kepada isterinya.
Adapun besar kecilnya uang pensiun yang diberikan itu diperhitungkan dengan jumlah gaji yang diterima oleh pegawai tersebut sewaktu masih aktif.
Tidak semua orang berhak untuk mendapatkan uang pensiunan. Karena pemerintah telah menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Diantaranya adalah :
Ø  Yang berhak memberi pensiun adalah :
·      Pejabat yang berhak memberhentikan pegawai yang bersangkutan, dibawah pengawasan dan koordinasi Kepala Kantor Urusan Pegawai.
Ø  Yang berhak mendapatkan uang pensiun adalah :
·      Pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri jikalau ia pada saat pemberhentiannya masih berstatus sebagai pegawai negeri. Atau telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan mempunyai masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 tahun.  Atau ia dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani. Atau pegawai tersebut mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 4 tahun dan oleh badan/pejabat yang ditunjuk oleh Departemen Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani, yang tidak disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatannya.
·      Pegawai negeri yang diberhentikan atau dibebaskan dari pekerjaannya dengan hormat sebagai pegawai negeri karena penghapusan jabatan, perubahan dalam susunan pegawai, penertiban aparatur negara atau karena alasan-alasan dinas lainnya dan kemudian tidak dipekerjakan kembali sebagai pegawai negeri dan pada saat pemberhentiannya sebagai pegawai negeri itu telah berusia sekurang-kurangnya 50 tahun serta memiliki masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.
·      Pegawai Negeri yang setelah menjalankan suatu tugas negara tidak dipekerjakan kembali sebagai pegawai negeri. Ia juga berhak menerima pensiun-pegawai apabila ia diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri dan pada saat pemberhentiannya sebagai pegawai negeri ia telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan memiliki masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.
·      Apabila pegawai negeri pada saat ia diberhentikan sebagai pegawai negeri telah memiliki masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun akan tetapi pada saat itu belum mencapai usia 50 tahun, maka pemberian pensiun kepadanya ditetapkan pada saat ia mencapai usia 50 tahun. Namun Pemberian uang pensiun pegawai akan dihentikan apabila penerima pensiun pegawai diangkat kembali menjadi pegawai negeri atau diangkat kembali dalam suatu jabatan negeri.
·      Selanjutnya apabila pegawai negeri atau penerima pensiun pegawai meninggal dunia, maka yang berhak menerima uang pensiun tersebut adalah isteri (isteri-isteri)nya untuk pegawai negeri pria atau suaminya untuk pegawai negeri wanita, yang sebelumnya telah terdaftar pada Kantor Urusan Pegawai. Jika pegawai negeri atau penerima pensiun pegawai pria termaksud diatas beristeri lebih dari seorang, maka pensiun janda diberikan kepada isteri yang paling lama ada pada waktu itu dan tidak terputus-putus dinikahnya.
·      Hak isteri untuk mendapatkan pensiunan dapat dihapuskan oleh pemerintah jika hubungan perkawinan dengan suami yang telah terdaftar terputus atau janda/duda yang bersangkutan menikah lagi dengan lelaki lain.
·      Lalu jika pegawai negeri penerima dana pensiun tidak mempunyai isteri/suami lagi yang berhak untuk menerima pensiun janda/duda atau bagian pensiun janda maka pensiun itu diberikan kepada anak/anak-anaknya yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan pemerintah.
·      Hak untuk menerima pensiun-pegawai atau pensiun-janda/duda akan dihapus jika penerima pensiun-pegawai tidak seizin pemerintah menjadi anggota tentara atau pegawai negeri suatu negara asing atau  menurut keputusan pejabat/badan negara yang berwenang ia dinyatakan salah karena melakukan tindakan atau terlibat dalam suatu gerakan yang bertentangan dengan kesetiaan terhadap Negara.
·      Penghapusan itu juga berlaku jika ternyata keterangan-keterangan yang diajukan sebagai bahan untuk penetapan pemberian pensiun-pegawai/pensiun janda/ duda/bagian pensiun-janda, tidak benar dan bekas pegawai negeri atau janda/duda/anak yang bersangkutan sebenarnya tidak berhak diberikan pensiun.

Ketatnya ketentuan pemerintah dalam permasalahan uang pensiun ini mengindikasikan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam mengalokasikan dana tunjangan tersebut. Pemerintah menetapkan untuk memperoleh pensiun pegawai menurut Undang-undang, pegawai negeri yang bersangkutan diharuskan untuk mengajukan surat permintaan uang pensiun terlebih dahulu kepada Kepala Kantor Urusan Pegawai, disertai salinan sah dari surat keputusan tentang pemberhentian ia sebagai pegawai negeri, daftar riwayat pekerjaan, daftar susunan keluarga serta beberapa surat keterangan lainnya.
Dari penjelasan di atas timbul sebuah pertanyaan,  bersetatus apakah uang pensiun tersebut ?
Permasalahan uang pensiun ini sangat erat kaitannya dengan dua istilah yang sudah familiar di kalangan para intelektual fiqih, yakni Ujroh (upah, gaji) dan Rizq(pemberian). Karena jika dipandang dari satu sisi, sekilas karakteristik uang pensiun mirip dengan Ujroh (upah). Sebab, uang tersebut berasal dari tabungan yang diambil dari sebagian gaji pegawai penerima pensiun sewaktu masih aktif bekerja dan mengabdi pada pemerintah. Namun di sisi lain, bila melihat realita yang ada, sebenarnya uang pensiun yang diberikan kepada penerima pensiun tersebut tidak sepenuhnya berasal dari jumlah uang tabungan dari penerima pensiun, karena apabila ada seseorang pegawai negeri tetap yang baru bekerja enam bulan misalnya, kemudian dia meninggal dunia, maka isterinya berhak menerima pensiun selama hidupnya, dengan catatan tidak kawin lagi dengan orang lain. Sebaliknya jika ada seseorang pegawai negeri yang sudah 40 tahun bekerja, kemudian meninggal dunia dan setelah 5 bulan isterinya kawin lagi dengan orang lain, maka isteri tersebut sudah tidak berhak menerima uang pensiun, padahal menurut perhitungan akal, tabungan mantan suaminya masih banyak jumlahnya.
Rizq (pemberian) dan Ujroh (upah) bukanlah dua kata yang sama artinya. Keduanya berbeda satu sama lain sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Dzakhoir. Dalam kitab tersebut, Rizq itu didefinisikan sebagai sebuah pemberian yang mencukupi bagi seseorang bersama keluarganya, sedangkan Ujroh adalah sebutan untuk sesuatu yang diberikan atas dasar saling rela (suka)[1].  Imam al-Mawardi sendiri dalam kitabnya yakni Al-Hawy fi fiqh al-syafi`i, menjelaskan bahwa diantara yang berhak mendapatkan Rizq adalah para tentara perang yang berjihad untuk memperjuangkan agama Islam.[2] Mereka mendapatkannya jika nama-nama mereka sudah tercantum dalam buku penerima gaji. Sehingga yang tidak tercantum namanya tidak akan mendapatkannya. Di samping itu, pemberian gaji itu juga merata sampai kepada istri dan anak-anak mereka.[3]
Penjelasan  ini menguatkan bahwa dana pensiunan adalah termasuk Rizq. Karena pegawai negeri  juga tercatat dalam buku penerima gaji dan berdasarkan penentuan seorang imam (pemimpin tertinggi) sama seperti para tentara perang. Dalam masalah jihad, para tentara perang akan memperoleh Rizq dari imam dengan tujuan supaya mereka bisa fokus dalam berjihad dan tidak memikirkan biaya keluarganya. Keadaan ini juga sama seperti yang terjadi pada PNS.
Syaikh Nawawi dalam kitab Tausyih-nya juga menjelaskan bahwasanya seorang imam itu boleh mengalokasikan sisa gaji dari orang-orang yang mendapatkan Rizq kepada Mashalih al-Muslimin (kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin). Termasuk dalam hal ini orang-orang yang berilmu (alim) atau para Kyai, bahkan anak mereka juga akan mendapatkan dana itu setelah mereka wafat. Dari penjelasan di atas sudah sepatutnya pemerintah juga mengalokasikan dana pensiun tersebut kepada para kyai beserta anak-anak mereka.[4]
Dengan demikian, bisa disimpulkan dari uraian-uraian di atas bahwa dana pensiunan itu diperbolehkan dan termasuk Irzaq (pemberian). Meskipun ada sebagian ulama’ yakni Syaikh Muhammad al-Hamid dalam kitabnya Rudud `Ala Abathil, tidak memperbolehkan mengambil dana pensiun dengan alasan tidak ada wujud pekerjaan yang layak ada imbalannya, karena ia telah dianggap sudah tidak menjadi pegawai.
Ketika kita mengacu pendapat yang memperbolehkan dana pensiun, apakah uang tersebut termasuk tirkah (harta peninggalan mayit) ? Pertama kita harus mengetahui pengertian tirkah terlebih dulu. Dalam kitab Hasyiata Qolyubi Wa `Umairah, karya monumental dua ulama` terkemuka yaitu Syaikh Syihabuddin al-Qolyubi dan Ahmad al-Burlusi `Umairah disebutkan bahwa pengartian tirkah adalah :
مَا تَخَلَّفَ عَنْ الْمَيِّتِ وَلَوْ بِسَبَبٍ أَوْ غَيْرِ مَالٍ كَاخْتِصَاصٍ
Artinya : “Sesuatu yang telah ditinggalkan oleh mayit, baik berupa harta maupun selainnya seperti ikhtishos.”
Dari definisi tirkah diatas dapat ditarik sebuah konklusi bahwa sesuatu yang ditinggalkan bisa dianggap tirkah kalau memang sudah dimiliki oleh mayit, bukan sesuatu yang akan dimiliki.[5] Hal ini bisa dipahami dari ibarat (teks) yang menggunakan fi’il madli (pekerjaan yang sudah lewat). Dengan demikian, gaji pensiunan tidak dapat dianggap sebagai harta warisan karena ia adalah sejumlah uang yang akan diterima dan akan berpindah ke ahli waris itu.
Jadi bisa disimpulkan dari deskripsi di atas bahwa uang pensiunan yang diberikan oleh Pemerintah itu tidak dimasukkan dalam penghitungan harta yang diwasiatkan. Dan ia juga tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqih klasik sehingga tidak ada istilah khusus untuk menyebut uang pensiun itu. Karena ia hanya merupakan santunan yang aturannya sudah ditetapkan oleh pemerintah sendiri.
Ibarat :
حاشيتا قليوبي وعميرة ج 3 ص 125
قَوْلُهُ : ( تَرِكَةِ ) هِيَ مَا تَخَلَّفَ عَنْ الْمَيِّتِ وَلَوْ بِسَبَبٍ أَوْ غَيْرِ مَالٍ كَاخْتِصَاصٍ وَلَوْ خَرَّ تَخَلَّلَتْ بَعْدَ مَوْتِهِ وَحَدِّ قَذْفٍ وَخِيَارٍ وَشُفْعَةٍ وَمَا وَقَعَ مِنْ صَيْدٍ بَعْدَ مَوْتِهِ فِي شَبَكَةٍ نَصَبَهَا قَبْلَهُ وَإِنْ انْتَقَلَ مِلْكُ الشَّبَكَةِ لِلْوَارِثِ وَدِيَةِ قَتْلٍ وَلَوْ بِعَفْوٍ عَنْ قِصَاصٍ مِنْ وَارِثِهِ .
نهاية المنهاج شرح المنهاج ج 5 ص 291
( لَا تَصِحُّ إجَارَةُ مُسْلِمٍ لِجِهَادٍ ) وَلَوْ صَبِيًّا وَعَبْدًا وَإِنْ قَصَدَ إقَامَةَ هَذَا الشِّعَارِ وَصَرَفَ عَائِدَتَهُ لِلْإِسْلَامِ فِيمَا يَظْهَرُ لِتَعَيُّنِهِ عَلَيْهِ بِحُضُورِ الصَّفِّ مَعَ وُقُوعِهِ عَنْ نَفْسِهِ ، وَبِهِ فَارَقَ حِلَّ أَخْذِهِ الْأُجْرَةِ عَلَى نَحْوِ تَعْلِيمٍ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ ، وَأَفْتَى الْبُلْقِينِيُّ بِإِلْحَاقِ الْمُرَابِطَةِ عِوَضًا عَنْ الْجُنْدِيِّ بِالْجِهَادِ فِي عَدَمِ صِحَّةِ الِاسْتِئْجَارِ لَهَا ، أَمَّا الذِّمِّيُّ فَتَصِحُّ لَكِنْ لِلْإِمَامِ فَقَطْ اسْتِئْجَارُهُ لِلْجِهَادِ كَمَا يَأْتِي فِي بَابِهِ....إلى أن قال...  وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ جَعْلِ جَامَكِيَّةٍ عَلَى ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنْ بَابِ الْإِجَارَةِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ بَابِ الْإِرْزَاقِ وَالْإِحْسَانِ وَالْمُسَامَحَةِ بِخِلَافِ الْإِجَارَةِ فَإِنَّهَا مِنْ بَابِ الْمُعَاوَضَةِ.
المجموع شرح المهذب ج 3 ص 128
قال صاحب الذخائر الفرق بين الرزق والاجرة ان الرزق أن يعطيه كفايته هو وعياله والاجرة ما يقع به التراضي.
تحفة المحتاج فى شرح المنهاج ج 7 ص 139
( وَكَذَا ) يُعْطَى مُمَوَّنُ الْمُرْتَزِقِ مَا يَلِيقُ بِذَلِكَ الْمُمَوَّنِ ، وَهُوَ ( زَوْجَتُهُ ) ، وَإِنْ تَعَدَّدَتْ وَمُسْتَوْلَدَاتُهُ ( وَأَوْلَادُهُ ) ، وَإِنْ سَفَلُوا وَأُصُولُهُ الَّذِينَ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُمْ فِي حَيَاتِهِ بِشَرْطِ إسْلَامِهِمْ كَمَا بَحَثَهُ الْأَذْرَعِيُّ وَاعْتُرِضَ بِأَنَّ ظَاهِرَ إطْلَاقِهِمْ أَنَّهُ لَا فَرْقَ وَيُوَجَّهُ بِأَنَّهُ يُغْتَفَرُ فِي التَّابِعِ الْمَحْضِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الْمَتْبُوعِ ( إذَا مَاتَ ) .وَإِنْ لَمْ يُرْجَ كَوْنُهُمْ مِنْ الْمُرْتَزِقَةِ بَعْدُ لِئَلَّا يُعْرِضُوا عَنْ الْجِهَادِ إلَى الْكَسْبِ لِإِغْنَاءِ عِيَالِهِم ... إلى أن قال ... ( فَتُعْطَى ) الْمُسْتَوْلَدَةُ (وَالزَّوْجَةُ حَتَّى تَنْكِحَ ) أَوْ تَسْتَغْنِيَ بِكَسْبٍ ، أَوْ غَيْرِهِ فَإِنْ لَمْ تَنْكِحْ فَإِلَى الْمَوْتِ ، وَإِنْ رُغِبَ فِيهَا عَلَى مَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ ( وَالْأَوْلَادُ ) الذُّكُورُ وَالْإِنَاثُ ( حَتَّى يَسْتَقِلُّوا ) أَيْ يَسْتَغْنُوا وَلَوْ قَبْلَ الْبُلُوغِ بِكَسْبٍ ، أَوْ نَحْوِ وَصِيَّةٍ ، أَوْ وَقْفٍ ، أَوْ نِكَاحٍ لِلْأُنْثَى ، أَوْ جِهَادٍ لِلذَّكَرِ وَكَذَا بِقُدْرَتِهِ عَلَى الْكَسْبِ إذَا بَلَغَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ ؛ لِأَنَّهُ بِالْبُلُوغِ صَلُحَ لِلْجِهَادِ فَإِذَا تَرَكَهُ وَلَهُ قُدْرَةٌ عَلَى الْكَسْبِ لَمْ يُعْطَى ثُمَّ الْخِيَرَةُ فِي وَقْتِ الْعَطَاءِ إلَى الْإِمَامِ كَجِنْسِ الْمُعْطَى.
الحاوي في فقه الشافعي ج 8 ص 443
وجملة المجاهدين ضربان : مرتزقة ، ومتطوعة . فأما المرتزقة فهم الذين فرغوا أنفسهم للجهاد فلم يشغلوا إلا به الفيء وثبتوا في الديوان فصاروا جيشا للمسلمين ومقاتلة للمشركين ، فهؤلاء يرزقون من أربعة أخماس الفيء ولا حق لهم في الصدقات ، وأما المتطوعة فهم أرباب المعائش والصنائع ، والأعراب الذين يتطوعون بالجهاد إن شاءوا ويقعدون عنه إن أحبوا ولم يثبتوا في الديوان ولا جعل لهم رزق ، فهؤلاء يعطون من الصدقات من سهم سبيل الله ولا حق لهم في الفيء
إحياء علوم الدين – ج 2 ص 140المكتبة الشاملة
 وانما النظر في الأموال الضائعة ومال المصالح فلا يجوز صرفه إلا إلى من فيه مصلحة عامة أو هو محتاج إليه عاجز عن الكسب فأما الغني الذي لا مصلحة فيه فلا يجوز صرف مال من بيت المال إليه هذا هو الصحيح وان كان العلماء قد اختلفوا فيه  وفي كلام عمر رضي الله عنه ما يدل على أن لكل مسلم حقا في بيت المال لكونه مسلما مكثرا جمع الإسلام ولكنه مع هذا ما كان يقسم المال على المسلمين كافة بل على مخصوصين بصفات فإذا ثبت هذا فكل من يتولى أمرا يقوم به تتعدى مصلحته إلى المسلمين ولو اشتغل بالكسب لتعطل عليه ما هو فيه فله في بيت المال حق الكفاية  ويدخل فيه العلماء كلهم أعنى العلوم التي تتعلق بمصالح الدين من علم الفقه و الحديث و التفسير و القراءة حتى يدخل فيه المعلمون و المؤذنون  وطلبة هذه العلوم أيضا يدخلون فيه فإنهم إن لم يكفوا لم يتمكنوا من الطلب ويدخل فيه العمال وهم الذين ترتبط مصالح الدنيا بأعمالهم وهم الأجناد المرتزقة الذين يحرسون المملكة بالسيوف عن أهل العداوة وأهل البغي وأعداء الإسلام -إلى أن قال-  فإن هذا المال للمصالح و المصلحة إما أن تتعلق بالدين أو بالدنيا فبالعلماء حراسة الدين وبالأجناد حراسة الدنيا   و الدين و الملك توأمان فلا يستغني أحدهما عن الآخر
b. Bagaimana hukum pernikahan  tanpa dicatatkan di KUA?
Jawaban :
Hukum pernikahan ketika sudah memenuhi syarat dan rukunnya adalah sah, adapun hukum tidak mencatatkannya ke KUA adalah haram karena tidak mentaati aturan pemerintah, hal ini menurut pendapat Imam Nawawi, adapun menurut pendapat Imam Jalaluddin Al-Bulqini tidak haram karena tidak ada kewajiban agama kecuali hal-hal yang sudah diwajibkan oleh syara’.
Uraian Jawaban:
               Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah"  sebagai ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.  al-Qur`an  menggunakan kata  ini  untuk  makna  tersebut,  di  samping  secara majazi diartikannya dengan "hubungan seks".  Secara  bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".[6] Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Secara umum Al-Qur`an hanya  menggunakan  dua  kata  ini  untuk menggambarkan  terjalinnya  hubungan  suami  istri secara sah. 
               Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan  ketetapan Ilahi   atas   segala   makhluk.  Hakikat  ini ditegaskan oleh al-Qur`an antara lain dengan firman-Nya:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya :    “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah).” (QS Al-Dzariyat [51]: 49)
               Mendambakan pasangan  merupakan  fitrah  sebelum  dewasa,  dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama  mensyariatkan  dijalinnya  pertemuan  antara  pria  dan wanita,   dan  kemudian  mengarahkan pertemuan  itu  sehingga terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi   ketenteraman  atau  sakinah  dalam  istilah al-Qur`an surat Ar-Rum (30): 21. 
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” ( QS. Ar-Rum (30): 21.)
            Nikah merupakan bagian dari perjalanan hidup yang bakal terukir dalam sanubari serta merupakan sunnah Rasulullah SAW.  yang dapat menyempurnakan nilai Islam seseorang. Sebab ia menjadi satu-satunya jalan untuk menghalalkan segala bentuk hubungan yang diharamkan antara laki-laki dan perempuan. Dengan menikah, seseorang dapat terhindar dari perbuatan dosa, mata dapat terjaga dari perbuatan maksiat, nafsunya pun dapat tersalurkan secara benar dan menjadi tidak liar. Dalam sabdanya, Rasulullah SAW sangat menganjurkan nikah dan mengancam orang-orang yang membenci pernikahan.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاهَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: ” Wahai para pemuda, barangsiapa  dari kalian yang mempunyai biaya maka nikahlah, karena nikah lebih memejamkan mata dan lebih menjaga diri dari zina. Dan barangsiapa tidak mampu maka berpuasalah, sesungguhnya puasa adalah perisai baginya ( dari berbuat maksiat)”. (HR. Bukhori)
               Guna tujuan tersebut al-Qur`an antara lain menekankan  perlunya kesiapan  fisik,  mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Yang tidak memiliki  kemampuan  ekonomi  dianjurkan untuk  menahan  diri  dan  memelihara  kesuciannya dengan berpuasa sesuai yang dianjurkan oleh nabi dalam hadistnya.
            Di  sisi  lain  perlu  juga  dicatat,  bahwa walaupun al-Qur`an menegaskan bahwa berpasangan atau  kawin  merupakan  ketetapan Ilahi  bagi  makhluk-Nya, dan walaupun Rasul menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama al-Qur`an dan   Sunnah   menetapkan   ketentuan-ketentuan   yang  harus diindahkan demi legalitas pernikahan tersebut. Dan ketentuan direalisasikan dengan adanya beberapa syarat dan rukun nikah. Semua ketentuan ini ditetapkan guna mengantisipasi praktek-praktek perzinaan yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai  kemanusiaan.    
               Pada zaman dahulu kaum muslimin mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu adanya campur tangan pemerintah melalui pencatatan resmi. Karena dalam perspektif fiqih, legalitas sebuah pernikahan tidak membutuhkan campur tangan mereka. Cukup dengan terpenuhi semua rukun dan syarat nikah yang ada maka akad nikah tersebut sudah dihukumi sah secara syara`. 
                 Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, di mana dimungkinkan para saksi untuk lupa, lalai, meninggal dunia dan sebagainya, maka pemerintah RI melalui departemen agama menetapkan bahwa akad nikah dapat dihukumi sah secara agama adalah akad nikah yang ditulis dalam catatan resmi  oleh pihak pemerintah yang bersangkutan (KUA).         
                 Pemerintah melalui departemen agamanya menetapkan peraturan tersebut dengan adanya beberapa pertimbangan yang matang. Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, di antaranya:
1). Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.
2). Menyelesaikan persengkatan antara suami istri atau para walinya ketika mereka bersengketa dan berselisih, karena bisa jadi salah satu di antara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
3). Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
4). Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.
5). Menutup pintu pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatannya hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.
                 Maka dari itu, pemerintah membuat undang-undang agar pernikahan warganya dicatat oleh pegawai yang telah ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan politik syar’i yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat di baliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.
Hal ini sesuai dengan salahsatu dasar penetapan sebuah hukum syari`at, yaitu agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Jadi, apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa’: 59)
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kepada kita untuk taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.[7] Dalam sebuah kaidah fiqih yang populer dikatakan:
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya : “Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat”.
Selain itu, kewajiban taat pada peraturan pencatatan pernikahan juga ditinjau dari aspek adanya sanksi bila ketetapan itu dilanggar oleh seseorang. Hal ini jelas menimbulkan madlarat (bahaya) pada dirinya sendiri. Sementara itu  telah kita ketahui bahwa memberikan madlarat pada diri sendiri itu dilarang syara`, meskipun yang memberi madlarat (sanksi) tidak dibenarkan oleh agama.
Dari semua keterangan ini secara otomatis mengakibatkan segala bentuk pernikahan yang menyalahi aturan tersebut dengan tidak mencatatkannya dalam catatan resmi pemerintah akan dianggap sebagai pernikahan ilegal meskipun sudah dianggap sah secara agama.
Perkawinan yang tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non Islam) ini memiliki  beberapa sebutan lain. Seperti Perkawinan bawah tangan, ''kawin bawah tangan'', ’kawin siri’ atau ’nikah sirri’. Ia mendapat perhatian khusus dari para ulama' kontemporer sehingga mereka memunculkan istilah khusus untuk menyebut pernikahan ini yaituZawaj ‘Urfi (nikah urfi). Yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak dicatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA). Disebut dengan nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi dan para sahabat yang mulia, di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan dalam hati mereka.[8]
                 Dari definisi tersebut di atas, dapat kita fahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’i dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah untuk digugat.
Tetap legalnya pernikahan `urfi ini didukung dengan beberapa argumen. Diantaranya :
Ø  Tujuan pencatatan akad nikah adalah menjaga hak suami istri, dan nasab anak apabila terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah bisa terwujudkan dengan adanya saksi dan mengumumkan pernikahan.
Ø  Tidak ada dalil syar’i untuk mengatakan bahwa pencatatan akad nikah adalah syarat sahnya pernikahan.
Ø  Pencatatan akad nikah tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat dan ulama`salaf, mereka hanya mencukupkan dengan saksi dan mengumumkan pernikahan.
Dari keterangan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh si istri dengan orang lain tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi. Namun hukumnya haram karena tidak menaati undang-undang pernikahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, apalagi jika pencatatan itu adalah sebuah keharusan dari pemerintah yang harus ditaati. Bila ketetapan itu dilanggar, maka pemerintah akan memberi sanksi. Perbuatan itu jelas menimbulkan madlarat (bahaya) pada dirinya sendiri. Padahal memberikanmadlarat pada diri sendiri itu tidak diperbolehkan dalam pandangan syara`, meskipun yang memberi madlarat (sanksi) tidak dibenarkan oleh agama. Keharaman ini berlaku jika kita mengikuti pendapat ulama` Mutaakhirin. Adapun menurut pendapat Imam Jalaluddin al-Bulqini, tidak menaati pemimpin (imam) secara umum dan terkait dengan pelanggaran berupa tidak mencatatkan pernikahan dengan resmi secara khusus hukumnya tidaklah haram karena menurut beliau tidak ada kewajiban dalam agama kecuali hal-hal yang sudah diwajibkan oleh syara’.[9]
Ibarat :
أرشيف ملتقى اهل الحديث ج 1 ص 1798
المطلب الثاني : الفرق بين الزواج العرفي والشرعي والرسمي ونكاح السر
أولاً: الفرق بين الزواج العرفي والزواج الشرعي: التعريفات السابقة تظهر بوضوح أن الزواج العرفي هو الزواج الشرعي بعينه، فلا فرق بين هذين النوعين من الزواج، وعلى ذلك ينطبق على الزواج العرفي التعريف الذي عرفنا به الزواج عند علمائنا، وقد صرحت التعريفات التي سبق ذكرها بهذه الحقيقة، وممن صرح بها فضيلة الشيخ حسنين مخلوف رحمه الله، فقد سُئل عن زواج توافرت فيه شروط العقد وأركانه، ونص السؤال:
"هل إذا عقد الزوجان زواجهما بإيجاب وقبول شرعيين وبحضور شاهدين مستوفيين للشرائط الشرعية بدون إثبات العقد في وثيقة رسمية لدى المأذون أو الموظف المختص يكون زواجاً شرعياً وتحل به المعاشرة بينهما، أو لابد من إثباته في الوثيقة الرسمية؟".
وقد أجاب الشيخ على هذا السؤال بقوله: "عقد الزواج إذا استوفى أركانه وشروطه الشرعية تَحِلُّ به المعاشرة بين الزوجين، وليس من شرائطه الشرعية إثباته كتابة في وثيقة رسمية ولا غير رسمية، وإنما التوثيق لدى المأذون أو الموظف المختص، نظام أوجبته اللوائح والقوانين الخاصة بالمحاكم الشرعية خشية الجحود وحفظاً للحقوق، وحذّرت من مخالفته لما لهُ من النتائج الخطيرة عند الجحود".
ويقول المحامي ممدوح عزمي في مقدمة الكتاب الذي دونه للتعريف بالزواج العرفي: "نتعرض في هذا الباب إلى بيان تعريف الزواج بصفة عامة وانطباق هذا التعريف على الزواج العرفي". ثم يقول: "والجدير بالذكر أن الزواج العرفي يجب ان تتوفر فيه ذات الشروط والأركان التي يجب توافرها في الزواج الرسمي الموثق". ويقول أيضاً: "إذا تأملنا في عقد الزواج وكونه عقداً رضائياً (مع وجود شاهدين) نجد أن هذا التعريف لم يفرق بين ما إذا كان الزواج عقداً مكتوباً أو غير مكتوب، موثقاً أو غير موثق، رسمياً أو عرفياً، لذلك فقد اتفق أهل الفقه على أنه لا فرق بين تعريف الزواج العرفي أو الزواج الرسمي الموثق... ونخلص مما سبق أن تعريف الزواج العرفي ينحصر في كونه عقداً عرفياً بمقتضاه يحل للعاقدين الاستمتاع ببعضهما على الوجه المشروع بمجرد ثبوت التراضي فيما بينهما شريطة وجود شاهدي عدل على هذا الزواج ليتحقق شرط الإشهاد في نظر عاقديه".
بغية المسترشدين ص 189
(مسألة : ك) : يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر ، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه ، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة ، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط ، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً ، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور ، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال ، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ. قلت : وقال ش ق : والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه ، فالواجب يتأكد ، والمندوب يجب ، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات ، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي ، فخالفوه وشربوا فهم العصاة ، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره ، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.
مقالات الكوثري ص 106
وأما ما وقع في كلام بعض المتأخرين من من أصحاب الطبقات النازلة في الفقه من أن ولي الأمر إذا أمر بمباح وجب امتثاله, وكذا إذا نهى عن مباح كما الدر والأنقروية نفى غير موارد النصوص, وأما ما ورد فيه نص فلا معدل فيه عن النص, إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق, فيكون جعل ذلك الرأي قاعدة شاملة للنصوص وغيره مما لم يفي به عالم قبل اليوم.
أشباه والنظائر للسيوطى ص 556
تَنْبِيهٌ : مِنْ الْمُشْكِلَاتِ : مَا وَقَعَ فِي فَتَاوَى النَّوَوِيِّ : أَنَّهُ لَوْ أَمَرَ الْإِمَامُ النَّاسَ بِصَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَجَبَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ بِأَمْرِهِ حَتَّى يَجِبُ تَبْيِيتُ النِّيَّةِ قَالَ الْقَاضِي جَلَالُ الدِّينِ الْبُلْقِينِيُّ فِي حَاشِيَةِ الرَّوْضَةِ : وَهَذَا كَلَامٌ لَمْ يَقُلْهُ أَحَدٌ مِنْ الْأَصْحَابِ بَلْ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْأَيَّامَ يُسْتَحَبُّ الصَّوْمُ فِيهَا لَا خِلَافَ فِي ذَلِكَ كَيْفَ يُمْكِنُ أَنْ يَجِبَ شَيْءٌ بِغَيْرِ إيجَابِ اللَّهِ أَوْ مَا أَوْجَبَهُ الْمُكَلَّفُ عَلَى نَفْسِهِ تَقَرُّبًا إلَى اللَّهِ تَعَالَى وَقَدْ { قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْأَعْرَابِيِّ الَّذِي سَأَلَ عَنْ الْفَرَائِضِ قَالَ : هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا ؟ قَالَ لَا } فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ شَيْءٌ إلَّا بِإِيجَابِ اللَّهِ تَعَالَى كِتَابَةً أَوْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ وَقَدْ { أَمَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ } وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ بِوُجُوبِهِ مَعَ أَنَّ أَمْرَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَعْظَمُ مِنْ أَمْرِ الْأَئِمَّةِ ثُمَّ إنَّ نَصَّ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ دَالٌّ عَلَى ذَلِكَ أَيْضًا .فَإِنَّهُ قَالَ فِي الْأُمِّ : وَبَلَغَنَا عَنْ بَعْضِ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُ كَانَ إذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَسْقِيَ أَمَرَ النَّاسَ فَصَامُوا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَةٍ وَتَقَرَّبُوا إلَى اللَّهِ تَعَالَى بِمَا اسْتَطَاعُوا مِنْ خَيْرٍ ثُمَّ خَرَجُوا فِي الْيَوْمِ الرَّابِعِ فَاسْتَسْقَى بِهِمْ وَأَنَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُمْ وَآمُرُهُمْ أَنْ يَخْرُجُوا فِي الْيَوْمِ الرَّابِعِ صِيَامًا مِنْ غَيْرِ أَنْ أُوجِبَ عَلَيْهِمْ وَلَا عَلَى إمَامِهِمْ انْتَهَى .
مقالات الكوثري ص 107
ويفول الشيخ عبد الغني النابلسي الحنفي في شرحه على الطريقة المحمدية عند كلامه في التتن والقهوة : وأمر السلطان ونهيه إنما يعتبران إذا كانا على طبق أمر الله تعالى ونهيه لا على مقتضى نفسه وطبعه. بل لو فرضنا أن أمر النبي صلى الله عليه وسلم ونهيه كان من تلفاء نفسه لا من أمر الله ونهيه – وحاشاه صلى الله عليه وسلم من ذلك – لما وجب علينا امتثال ذلك فكيف يجب علينا امتثال أمر السلطان أو نهيه الصادر من مجرد رأيه وعقله ما لم يكن موافقا لحكم الله تعالى إلا إذا ظلم السلطان وجار وشدد على الناس وضيق عليهم فى النهي عن هذين المباحين, وخاف الناس على أنفسهم من شره خصوصا إذا كان يستحل دماء المسلمين ويوجب تعزيرهم في رأيه بسبب فلا يجوز أن يلقى أحد بنفسه إلى التهلكة, فيكف المؤمن عن استعمال ذلك بهذا السبب لا معتقدا الحرمة أو الكراهة بل حاقنا دمه وعرضه. إلى آخر ما فى الحديقة الندبة لعبد الغني النابلسي (ج 1 ص 143). والحاصل أن ما أباحه الله سبحانه ليس إلى احد تحريمه كما سبق.    

2.        Bagaimana hukum pernikahan tanpa dicatatkan di KUA dengan motivasi diatas?
Jawaban :
Haram, karena mengandung unsur penipuan, adapun aqad nikahnya sah.
Uraian Jawaban :
Kejujuran adalah perhiasan jiwa yang lebih bercahaya daripada berlian. Betapa pentingnya sebuah kejujuran hingga sifat terpuji itu menjadi syarat mutlak yang wajib dimiliki seorang rasul. Sebaliknya, betapa tercelanya kebalikan dari kejujuran, yakni kebohongan, hingga perilaku negatif itu dijadikan salahsatu kriteria mutlak seorang hipermoralis (munafik).
Kebohongan atau penipuan adalah perilaku yang sangat dilarang oleh agama.[10] Karena perbuatan haram tersebut dapat menimbulkan banyak mafsadah(kerusakan). Minimal dapat menyesatkan orang yang dibohongi dari kebenaran yang nyata. Karena dampak negatif yang ada inilah, para pelaku perbuatan menipu atau berbohong secara tegas diancam  oleh Allah swt. akan dijebloskan ke neraka dengan berbagai macam siksa yang pedih. Ancaman Allah swt ini dijelaskan melalui lisan nabi pembawa risalah-Nya yaitu Muhammad SAW:
الْمَكْرُ وَالْخَدِيْعَةُ فِى النَّارِ
Artinya: ''(Pelaku) perbuatan makar dan menipu (masuk) ke dalam neraka.''(HR. Turmudzi).
Memang, pada beberapa kasus tertentu berbohong terkadang dilegalkan oleh agama. Bahkan terkadang hukumnya wajib, seperti ketika kebohongan tersebut tidak dilakukan, maka akan mengakibatkan bahaya hilangnya nyawa orang lain. Namun diperbolehkannya berbuat bohong tersebut hanyalah sebuah pengecualian dari hukum asal penipuan yang haram. Disamping itu kebolehan berbohong masih disertai dengan beberapa syarat ketat lain yang harus terpenuhi.[11]
Di zaman sekarang semuanya berubah 180 derajat, kebanyakan orang lebih terbuai dan silau dengan kerlap-kerlip berlian daripada cahaya kejujuran. Keterbalikan ini sangat terkait dengan arus modernisasi yang telah menerjang kehidupan manusia. Karena meskipun modernisasi di satu sisi berdampak positif bagi kehidupan umat manusia, namun di sisi lain ternyata telah melahirkan dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan mereka sendiri, yaitu dengan menggejalanya berbagai problema yang semakin kompleks, baik yang bersifat personal maupun sosial. Pola berpikir dan lifestyle (gaya hidup) mereka yang terlalu berorientasi kepada kemajuan dalam bidang material (pemenuhan kebutuhan biologis) telah menelantarkan supra empiris manusia sehingga terjadi pemiskinan spiritual dalam diri mereka. Kondisi ini ternyata sangat kondusif bagi perkembangan problematika pribadi dan sosial  yang terekspresikan dalam suasana psikologis yang kurang nyaman, seperti perasaan cemas dan  stress, serta terjadinya penyimpangan moral atau sistem nilai. Kondisi inilah yang menjadi salahsatu stimulus sehingga mereka berani meng''anaktiri''kan kejujuran demi memperoleh materi dengan berbagai macam cara meskipun cara itu dilarang agama.[12]
Perbuatan yang dilakukan si isteri mendiang pegawai negeri seperti yang tercantum dalam deskripsi diatas dapat dikategorikan sebagai bentuk penipuan. Dimana supaya si istri tetap mendapatkan uang pensiunan, ia berani menipu pemerintah dengan berpura-pura belum menikah lagi dengan orang lain, padahal kenyataannya berbeda. Ia telah membina bahtera rumah tangga lagi, namun pernikahannya dilakukan tanpa dicatatkan ke catatan resmi negara dengan tujuan supaya uang pensiun dari suaminya yang telah meninggal dunia bisa tetap mengalir ke sakunya.
Motif jahat semacam ini hanyalah salahsatu dari banyak motif yang mendorong seseorang enggan mencatat pernikahan di KUA. Masih ada beberapa motif lain. Diantaranya :
Ø  Ada yang dilakukan untuk poligami.
Ø  Untuk penjajakan sebelum pernikahan yang tercatat dilakukan sehingga bila terjadi ketidakcocokan tidak menimbulkan konsekuensi hukum lain.
Ø  Ada hal-hal yang disembunyikan sehingga takut diketahui oleh khalayak dan pemerintah, misalnya dilarang oleh instansinya, tidak mau repot, demi karier, takut merusak citra diri kalau ketahuan sudah menikah, dan pertimbangan lainnya, misalnya belum cukup umur, atau menutupi aib.
Ibarat pisau bermata dua, pernikahan tanpa ''restu negara'' ini bisa menimbulkan kebahagiaan, sekaligus merugikan. Jika pelaku tidak bijak menyikapi, kerap terjadi disharmonisasi sosial akibat pernikahan ilegal menurut negara itu. Sebab perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum yang berlaku.
Selain itu “perkawinan di bawah tangan negara” ini memiliki dampak yang sangat merugikan bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum pihak wanita tidak dapat dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia serta tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi. Sedang secara sosial ia akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan lak-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan.
Dampak buruk pernikahan ini juga menjalar ke anak. Jika pernikahan dengan cara tersebut tetap dilakukan, maka akan berdampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum positif Indonesia. Diantaranya status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
Jadi, dari beberapa pertimbangan diatas dapat ditarik sebuah jawaban bahwa hukum pernikahan yang dilakukan si isteri dengan lelaki lain tanpa mencatatkannya ke dalam catatan resmi pemerintah dengan motivasi supaya ia masih tetap bisa mendapatkan jatah uang pensiun suaminya yang telah meninggal dunia adalah haram, karena mengandung unsur penipuan. Adapun hukum pernikahan yang dilakukan tetap sah secara syara`.
Ibarat :
سبل السلام شرح بلوغ المرام ج 3 ص 52
وعن أبي هررة رضي الله عنه "أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة" الصبرة بضم الصاد المهملة وسكون الموحدة الكومة المجموعة "من الطعام " من طعام "فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا فقال: "ما هذا يا صاحب الطعام؟" قال أصابته السماء يا رسول الله قال: "أفلا جعلته فوق الطعام كي يراه الناس من غش فليس مني" رواه مسلم قال النووي كذا في الأصول مني بياء المتكلم وهو صحيح ومعناه ليس ممن اهتدى بهديي واقتدى بعلمي وعملي وحسن طريقتي وقال سفيان بن عيينة يكره تفسيير مثل هذا ونقول نمسك عن تأويله ليكون أوقع في النفوس وأبلغ في الزجر والحديث دليل على تحريم الغش وهو مجمع شرعا مذموم فاعله عقلا
إسعاد الرفيق ج 2 ص 51
(و) منها (مكر) والخديعة باحد المسلمين وهما من الكبائر كما فى الزواجر لقوله عليه الصلاة والسلام : المكر والخديعة فى النار كما اخرجه الترمذي . وأخرج ايضا ابو نعيم : من غشنا فليس منا والمكر والخداع فى النار, والرافعي : ليس منّا من غش مسلما  او ضرّه او ماكره.

3.      Halalkah uang pensiunan setelah nikah seperti diatas ?
Jawaban :
Haram, karena menerima dana tidak pada posnya.
Pertimbangan:
Di antara hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesuka-Nya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah dengan sesuka-Nya. Ini semua adalah hak Ketuhanan dan tidak ada hak sedikitpun bagi manusia untuk berpaling dan melanggarnya.
Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hamba-Nya. Oleh karena itu dalam menentukan halal dan haram, Allah menetapkannya dengan berlandaskan alasan yang ma'qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Maka dari itu, apapun yang dihalalkan Allah pasti itu baik bagi hamba-Nya dan apapun yang diharamkan-Nya pasti itu jelek.
Lalu halal atau haramkah uang pensiun yang diterima sang isteri yang telah menikah lagi dengan orang lain?
Jika kita menganalisa tindakan pelaku terkait melalui kacamata fiqih, maka tindakan tersebut sangat erat korelasinya dengan satu bab yakni ghoshob.
Di kalangan intelektual fiqih, ghosob didefinisikan sebagai bentuk penguasaan terhadap hak (harta atau manfaat) orang lain dengan sewenang-wenang tanpa adanya hak (dzalim). Perbuatan ini sangat dilarang oleh syara`. dan termasuk kategori dosa besar.  Dalam hal ini Allah swt. Berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. Al-Nisa`: 29).
Ayat ini menjelaskan bahwa diantara perbuatan yang telah ditetapkan Allah swt. sebagai perkara yang haram adalah memakan segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang batil. Adapun maksud dari kata batil yang termaktub dalam kalam-Nya, para ulama` ahli tafsir mengartikannya sebagai cara-cara penguasaan sesuatu hak yang tidak diperbolehkan syara`, seperti riba, judi, ghosob, pencurian, pengkhianatan, dll.[13]
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa status uang pensiun adalah rizq(pemberian) dari pemerintah. Yakni sebuah pemberian yang mencukupi bagi seseorang bersama keluarganya dengan syarat namanya telah tercatat dalam buku para penerima gaji yang sudah ditetapkan pemerintah.
Dalam mengalokasikan dana tunjangan ini pemerintah menyertakannya dengan beberapa ketentuan yang ketat. Pos uang pensiun tersebut telah ditentukan oleh pemerintah sehingga yang berhak mendapatkannya hanyalah orang-orang tertentu saja, disertai terpenuhinya kriteria-kriteria yang diatur dalam Undang-UndangTentang Pensiun Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Diantara yang berhak mendapatkannya adalah isteri atau duda dari pegawai negeri yang meninggal dunia dengan syarat belum menikah dengan orang lain.
Penentuan pos uang negara ini sangat perlu dilakukan supaya uang tersebut tidak mengalir ke saku rakyat dengan semena-mena. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih bahwa semua tasharruf (tindakan atau perbuatan) seorang imam (pemimpin negara) harus berdasarkan pertimbangan maslahat yang ada. Tidak boleh baginya menetapkan peraturan atau mengalokasikan dana baitul mal (kas negara) ke sembarang tempat jika tidak ada kemaslahatan yang kembali kepada negara atau rakyat.
Persoalan yang ada dalam deskripsi diatas mirip dengan satu kasus yang dipaparkan oleh para intelektual fiqih, yaitu jika ada seseorang memberikan hibah (pemberian) berupa uang kepada orang lain yang disangka telah memenuhi syarat yang ditetapkannya. Ternyata dalam realita, si penerima tidak memenuhi kriteria yang ada, maka si penerima tidak boleh mengambil uang tersebut, bahkan ia harus mengembalikanhibah tersebut kepada pemiliknya. Karena uang itu haram baginya.
Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan si isteri termasuk kategori ghoshobsehingga berkonsekwensi uang pensiunan yang diterima si isteri hukumnya haram karena ia tidak berhak untuk menerimanya. Sebab pemerintah telah menetapkan bahwa orang yang berhak menerima uang pensiunan adalah isteri yang bersangkutan selama belum menikah dengan pria lain.
Sebenarnya, di balik semua ketetapan ini ada sebagian ulama` yang berpendapat bahwa jikalau pihak pemerintah tidak mengalokasikan harta baitul mal(kas negara) ke seluruh orang yang berhak mendapatkannya secara merata, maka boleh bagi seseorang untuk mengambil sendiri sebagian harta dari kas negara tersebut  tanpa sepengahuan pemerintah, dengan catatan ia memang termasuk dari orang yang berhak menerima harta kas negara, misalnya ia termasuk dari fuqara`(orang-orang fakir), atau ia tidak mampu bekerja serta tidak ada seorang pun yang berkewajiban untuk menafkahinya demi terpenuhinya kebutuhan hidup.
            Jika kita memandang pendapat sebagian ulama tadi, maka boleh bagi si isteri (janda mendiang pegawai negeri) menerima uang pensiunan dari pemerintah terkait dengan syarat ia termasuk dari orang-orang yang berhak mendapatkannya, seperti ketika si isteri tersebut berada dalam kondisi tidak mampu bekerja, disamping itu tidak ada orang yang menanggung kebutuhan hidupnya.
Diperbolehkan tindakan tersebut karena memandang uang pensiun janda pegawai negeri itu berasal dari kas negara RI (APBN/D) yang termasuk kategori hartasyubhat, yaitu  harta yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Dikatakan syubhat karena bila ditelusuri secara mendetail, ternyata pendapatan negara ini berasal dari berbagai sumber, diantaranya dari pajak,  baik dari harta yang halal seperti pajak yang ditarik dari berbagai perusahaan, pemilik bangunan atau tanah, maupun dari harta yang haram, seperti ditarik dari kompleks-kompleks pelacuran (lokalisasi), perjudian, diskotik, dll.    
Seperti diketahui, para fuqaha` telah menjustifikasikan bahwa mengambil harta seseorang  yang memiliki campuran antara harta halal dan haram, seperti harta pemerintah yang lalim, hukumnya hanya makruh, tidak sampai haram, baik pengambilannya melalui transaksi jual-beli, hutang-piutang, hadiah, hibah dll. Hukum makruh tersebut itu ditetapkan karena tidak adanya keyakinan bahwa harta yang diperoleh itu benar-benar murni berasal dari harta haram milik orang tersebut. Lain hal jikalau harta tersebut nyata-nyata murni dihasilkan dari keharaman, maka hukum mengambilnya tidak boleh atau haram.
Namun yang perlu diingat, problematika ini belum selesai. Karena secara obyektif masalah diperbolehkannya mengambil harta syubhat ini hanya salah satu dari beberapa pendapat yang ada di kalangan ulama`. Sebagaimana penjelasan al-Imam al-Ghozali, pengarang kitab fenomenalnya, yakni Ihya` `Ulumuddin,  bahwa permasalahan mengambil harta baitul mal ini terpecah menjadi empat pendapat. Pendapat pertama haram, sebab kas negara itu adalah harta musytarak (milik bersama) antara para orang-orang yang berhak mendapatkannya serta tidak diketahui mana bagian tertentu yang menjadi haknya. Dengan demikian, tidak diperbolehkan mengambil sepeserpun uang dari kas negara tersebut tanpa adanya penentuan alokasi dari pemerintah. Kedua boleh mengambil perhari sekadar kebutuhannya dalam satu hari. Ketiga boleh mengambil sekadar kebutuhannya dalam setahun. Keempat mengambil sesuai dengan kadar yang ditentukan pemerintah. Jika lebih dari itu, maka kelebihan tersebut haram hukumnya.
Jadi, terhadap persoalan harta syubhat ini, tidak diperbolehkan si isteri semena-mena mengikuti pendapat yang memperbolehkan mengambilnya. Karena tindakan tersebut berada ditengah polemik para fuqoha`. Ditambah lagi tindakan tadi memiliki resiko besar yang membahayakan dirinya, yaitu dapat dipenjara atau mendapatkan sanksi-sanksi berat lain dari pemerintah karena dalam hukum positif Indonesia, tindakan itu termasuk perbuatan kriminal menyelewengkan harta negara.  
Sikap yang paling aman bagi seorang muslim dalam perkara yang syubhat ini adalah bersikap Wara`(suatu sikap berhati-hati karena takut terjerumus dalam keharaman). Ini merupakan identitas seorang muslim sejati yang telah digariskan Allah melalui agama-Nya yakni Islam. Dimana dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.
Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz dzara'i). Disamping itu cara tersebut merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.
Selanjutnya, jika seseorang terlanjur menerima uang pensiun yang bukan haknya, seperti tindakan wanita yang ada dalam deskripsi masalah diatas, maka wajib baginya untuk bertaubat dari dosa tersebut. Hal ini sesuai dengan penjelasan para ulama` bahwasanya bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib.
Dalam kitab Is`ad al-Rafiq dijelaskan bahwa rukun-rukun taubat adalah menyesali dosa yang telah dilakukan, meninggalkan dosa yang telah diperbuat, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan beristighfar. Keempat hal itu adalah elemen-elemen dari taubat yang sah secara syara`. Jika semua hal itu telah terpenuhi berarti taubatnya telah sempurna.[14] Secara global spesifikasi cara taubat yang sahadalah sebagai berikut :
v  Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga, yaitu :
Ø  Pertama, hendaknya ia meninggalkan maksiat tersebut.
Ø  Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya.
Ø  Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.

Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Lantas jika taubat itu berkaitan dengan manusia maka syaratnya ada empat. Yaitu :
Ø  Memenuhi ketiga syarat di atas;
Ø  Hendaknya ia melepaskan hak orang lain tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah(menggunjing), maka ia harus meminta maaf.

Jadi, dalam pemasalahan ini si isteri wajib mengembalikan uang pensiun tadi ke pihak pemerintah. Namun ketika ia mengembalikan uang tadi ke negara, terkadang hal itu berpotensi menimbulkan hal-hal yang membahayakan baginya, semisal dijebloskan ke penjara ataupun sanksi-sanksi lainnya. Ini adalah resiko yang harus ditanggung oleh orang yang melakukan tindak pidana kriminal berupa penipuan. Jika kondisinya demikian, maka para fuqoha` memberikan solusi berupa uang tersebut langsung dialokasikan sendiri ke Mashalih al-Muslimin  (maslahat-maslahat kaum muslimin), seperti dialokasikan ke pembangunan jalan, rumah sakit, panti asuhan, kepada para faqir miskin atau kepentingan umum lainnya. Intinya, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk bebas dari uang haram tersebut.

Dengan demikian, taubat yang dilakukannya tidaklah cukup hanya dengan lisan semata. Apalagi jika kalimat taubat itu tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.    

Ibarat :
نهاية المحتاج ج  ص 134
ومن أعطى لوصف يظن به كفقر أو صلاح أو نسب أو علم وهو في الباطن بخلافه أو كان به وصف باطنا بحيث لو علم لم يعطه حرم عليه الأخذ مطلقا ، ويجري ذلك في الهدية أيضا فيما يظهر ، بل الأوجه إلحاق سائر عقود التبرع بها كوصية وهبة ونذر ووقف
حاشيتا قليوبى وعميرة ج 3 ص 204
فصل صدقة التطوع سنة لما ورد فيها من الكتاب والسنة ، ( وتحل لغني وكافر ) قال في الروضة يستحب للغني التنزه عنها ويكره له التعرض لأخذها وفي البيان لا يحل له أخذها مظهر الفاقة ، وهو حسن وفي الْحاوي الغني بمال ، أو بصنعة سؤاله حرام ، وما يأخذه حرام عليه انتهى.
قوله : ( وما يأخذه حرام عليه ) أي عند شيء مما تقدم ، أو عند فقد صفة أعطى لأجلها قال شيخنا : وحيث حرم لا يملك ما أخذه ، ويجب رده إلا إذا علم المعطي بحاله فيملكه ، ولا حرمة إلا إن أخذه بسؤال أو إظهار فاقة فيملكه مع الحرمة ، وفي شرح شيخنا وحيث أعطاه على ظن صفة وهو في الباطن بخلافها ولو علم به لم يعطه لم يملك ما أخذه ، ثم قال : ويجري ذلك في سائر عقود التبرع كهبة وهدية ووقف ونذر ووصية فراجعه .
إعانة الطالبين للسيد أبي بكر بن السيد محمد شطا الدمياطي، ج2 ص241
(فائدة) قال في المجموع: يكره الأخذ ممن بيده حلال وحرام كالسلطان الجائر وتختلف الكراهـة بقلة الشبهة وكثرتها، ولا يحرم إلا إن تيقن أن هذا من الحرام، وقول الغزالي: يحرم الأخذ ممن أكثر ماله حرام، وكذا معاملته شاذ اهـ
الفتاوي الفقهية الكبرى للإمام شهاب الدين أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي، ج 2 ص 153
)وسئل) رضى الله عنه ما حكم عطايا أرباب ولايات زماننا ؟ )فأجاب) بقوله عطايا الولاة قبلها قوم من السلف، وتورع عنها آخرون فيجوز قبولها مالم يتحقق في شيئ منها أنه محرم كمكس أو نحوه فلا يجوز قبوله، وأما مع عدم ذلك التحقق فالقبول جائز، وأما قول الغزالي: لا يجوز معاملة من أكثر ماله حرام فضعيف كما قاله النووي في شرح المهذب، بل المعتمد جواز معاملته والأكل مما لم يتحقق حرمته من ماله.
المجموع ج 10 ص  510
(فرع) قال الشيخ أبو حامد فى تعليقه وصاحب البيان عن الأموال المأخوذة من السلطان الجائر بجياية الحرام كالمكس والمصادرة ونحو ذلك: لها حكم معاملة من فى ماله حرام وحلال فيفرق بين قلتها وكثرتها وتختلف الكراهة فى التخفيف والتشديد بحسب ذلك، ولا يكون ذلك حراما إلا إذا تيقن أن هذا من الحرام الذى يمكن معرفة صاحبه، سواء دفع السلطان ذلك جائزة أو فى معاملة. فرع: هذا الذي ذكرناه هو كلام الشفعى وجميع الاصحاب، وشذ الغزالي فقال في الإحياء في كتاب الحلال والحرام: إنه يحرم مبايعة من أكثر ماله حرام، وأخذ المال من السلطان إذا كان أكثر مال السلطان حراما كما هو الغالب. وهذ الذى قاله شاذ مردود، وليس من مذهبنا، وإنما حكاه أصحابنا عن الأبهري المالكي اهـ
المجموع شرح المهذب - ج9 ص 350
(فرع) قال الغزالي لو لم يدفع السلطان إلى كل المستحقين حقوقهم من بيت المال فهل يجوز لآحادهم أخذ شئ من بيت المال قال فيه أربعة مذاهب (احدها) لا يجوز أخذ شئ اصلا ولا حبة لانه مشترك ولا يدرى حصته منه حبة أو دانق أو غيرهما فهذا غلو (والثانى) ياخذ كل يوم قوت يومه فقط (والثالث) ياخذ كفايته سنة (والرابع) ياخذ ما يعطى وهو حصته والباقون يظلمون قال الغزالي وهذا هو القياس لان المال ليس مشتركا بين المسلمين كالغنيمة بين الغانمين والميراث بين الورثة لان ذلك ملك لهم حتى لو ماتوا قسم بين ورثتهم وهنا لو مات لم يستحق وارثه إرث شئ وهذا إذا صرف إليه ما يليق صرفه إليه.
المجموع شرح المهذب – ج 9 ص 352-351
(فرع) قال الغزالي إذا وقع في يده مال حرام من يد السلطان قال قوم يرده إلى السلطان فهو أعلم بما يملك ولا يتصدق به واختار الحارث المحاسبى هذا وقال آخرون يتصدق به إذا علم أن السلطان لا يرده إلى المالك لان رده إلى السلطان تكثير للظلم قال الغزالي والمختار أنه ان علم أنه لا يرده على مالكه فيتصدق به عن مالكه (قلت) المختار أنه إن علم أن السلطان يصرفه في مصرف باطل أو ظن ذلك ظنا ظاهرا لزمه هو أن يصرفه في مصالح المسلمين مثل القناطر وغيرها فان عجز عن ذلك أو شق عليه لخوف أو غيره تصدق به على الاحوج فالاحوج واهم المحتاجين ضعاف اجناد المسلمين وان لم يظن صرف السلطان اياه في باطل فليعطه إليه أو إلى نائبه ان أمكنه ذلك من غير ضرر لان السلطان اعرف بالمصالح العامة وأقدر عليها فان خاف من الصرف إليه ضررا صرفه هو في المصارف التى ذكرناها فيما إذا ظن انه يصرفه في باطل.
بدائع الصنائع -الحنفية -ج4 ص 113-114
( فصل ) : وأما ما يوضع في بيت المال من الأموال فأربعة أنواع : أحدها زكاة السوائم ، والعشور وما أخذه العشار من تجار المسلمين إذا مروا عليهم ، والثاني خمس الغنائم ، والمعادن ، والركاز ، والثالث خراج الأراضي وجزية الرءوس وما صولح عليه بنو نجران من الحلل وبنو تغلب من الصدقة المضاعفة وما أخذه العشار من تجار أهل الذمة والمستأمنين من أهل الحرب ، والرابع ما أخذ من تركة الميت الذي مات ولم يترك وارثا أصلا ، أو ترك زوجا ، أو زوجة  وأما مصارف هذه الأنواع ، فأما مصرف النوع الأول فقد ذكرناه . وأما النوع الثاني وهو خمس الغنائم والمعادن والركاز فنذكر مصرفه في كتاب السير ، وأما مصرف النوع الثالث من الخراج وأخواته فعمارة الدين ، وإصلاح مصالح المسلمين وهو رزق الولاة ، والقضاة وأهل الفتوى من العلماء ، والمقاتلة ، ورصد الطرق ، وعمارة المساجد ، والرباطات ، والقناطر ، والجسور ، وسد الثغور ، وإصلاح الأنهار التي لا ملك لأحد فيها . وأما النوع الرابع فيصرف إلى دواء الفقراء ، والمرضى وعلاجهم ، وإلى أكفان الموتى الذين لا مال لهم ، وإلى نفقة اللقيط وعقل جنايته ، وإلى نفقة من هو عاجز عن الكسب وليس له من تجب عليه نفقته ونحو ذلك وعلى الإمام صرف هذه الحقوق إلى مستحقيها والله أعلم .
حاشية البجيرمي على المنهاج – ج9 ص 404 المكتبة الشاملة
( كتاب الغصب ) الأصل في تحريمه قبل الإجماع آيات كقوله تعالى : { لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل } أي لا يأكل بعضكم مال بعض بالباطل وأخبار كخبر { إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام } رواه الشيخان ( هو ) لغة : أخذ الشيء ظلما وقيل أخذه ظلما جهارا وشرعا : ( استيلاء على حق غير ) ولو منفعة كإقامة من قعد بمسجد أو سوق أو غير مال ككلب نافع وزبل ( بلا حق ) كما عبر به في الروضة بدل قوله كالرافعي عدوانا فدخل فيه ما لو أخذ مال غيره يظنه ماله فإنه غصب وإن لم يكن فيه إثم









[1] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarof al-Nawawi, al-Majmu` Syarh al-Muhadzab, vol 3 hal 128
[2] al-Mawardi, Al-Hawy Fi Fiqh al-Syafi`i vol 8, hal 443
[3] Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, Nihayah al-Minhaj Syarh al-Minhaj vol 5, hal 291
[4] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya` Ulumuddin, vol 2 hal 140
[5] Syihabuddin al-Qolyubi dan Ahmad al-Burlusi `Umairah, Hasyiyata al-Qolyubi Wa `Umairah, vol 3 hal 125.
[6] Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami `Ala al-Khathib vol 10 hal 17, al-Maktabah Syamilah Ishdar Tsani
[7]Abdurrahman bin ahmad bin husain bin umar ba `alawy, Bughyah al-Mustarsyidin hal 189
[8] Arsyif Multaqo Ahli al-Hadist vol I hal 1798, al-Maktabah Syamilah Ishdar Tsani
[9] al-Suyuthi, Al-Asbah Wa al-Nadhair, hal 556
[10] Muhammad bin Salim bin Sa`id ba Bashil al-Syafi`i, Is`ad al-Rafiq vol 2 hal 51
[11] Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Dimyathi, Hasyiyah I`anah al-Tholibin vol 3 hal 288
[12] Farid Mashudi, Psikologi Konseling, hal 145, penerbit IRCISoD-Jogjakarta
[13] Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Nahwy al-Andalusy, Al-bahr al-Muhith, vol 4 hal 117, al-Maktabah al-Syamilah Ishdar Tsani
[14] Muhammad bin Salim bin Sa`id ba Bashil al-Syafi`i, Is`ad al-Rafiq, vol 2 hal 141 s/d 142.