Permasalahan Uang Pensiunan
Uang Pensiunan Tirkah apa bukan?
Deskripsi masalah :
Seorang Pegawai Negeri
Sipil (PNS) meninggal dunia, ia berwasiat agar sepertiga hartanya ditasarufkan
untuk faqir miskin. Tentunya istri dan anak-anaknya mendapat pensiunan tiap
bulannya selama si istri tidak menikah lagi. Akan tetapi seiring bergulirnya
waktu, si istri memutuskan untuk menikah lagi, karena khawatir uang pensiunan
diberhentikan, ia menikah tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Pertanyaan :
1. Apakah uang pensiunan termasuk tirkah ?
Jika ya, bagaimana cara menghitung untuk wasiat?
2. Bagaimana hukum pernikahan tanpa dicatat di KUA
?
3. Bolehkah melakukan pernikahan tanpa dicatat di
KUA dengan motivasi diatas ?
4. Halalkah uang pensiunan setelah nikah seperti
diatas ?
(Pertanyaan
dari : PWLBMNU JATENG)
Pembahasan :
1. Apakah
uang pensiunan termasuk tirkah ? Jika ya, bagaimana cara
menghitung untuk wasiat ?
Jawaban :
Dana pensiunan
PNS bukan termasuk tirkah (harta peninggalan mayat),
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Negara Indonesia yang menjelaskan
bahwa sumber dana pensiun tersebut berasal dari APBN/D yang diberikan kepada
istri, yang berarti irzaq (pemberian) dan bukan ujroh (upah,
gaji) dari hasil kerja suami.
Karena dana
pensiunan bukan termasuk tirkah (harta warisan peninggalan
mayit), maka tidak dimasukkan dalam penghitungan harta yang diwasiatkan.
Uraian Jawaban :
Uang pensiunan
PNS adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pemerintah kepada pegawai
negeri/bekas pegawai negeri yang terakhir sebelum berhenti sebagai pegawai
negeri atau sebab ia telah meninggal dunia. Pembentukan dan penyelenggaraan
suatu dana pensiun ini telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah, sebagaimana
yang tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun
Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Uang pemberian tersebut telah
dianggarkan negara dan diambilkan dari APBN/D (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara atau Daerah) sebagai jaminan hari tua sekaligus penghargaan
atas jasa-jasa mereka dalam dinas pemerintahan.
Uang pensiun ini
berasal dari tabungan yang diambil dari sebagian gaji pegawai penerima pensiun
sewaktu masih aktif dan jumlah pensiun yang diterima oleh pegawai tersebut
setelah pensiun. Jika pegawai penerima uang pensiun tersebut meninggal dunia,
maka uang itu akan diberikan kepada isterinya.
Adapun besar
kecilnya uang pensiun yang diberikan itu diperhitungkan dengan jumlah gaji yang
diterima oleh pegawai tersebut sewaktu masih aktif.
Tidak semua orang
berhak untuk mendapatkan uang pensiunan. Karena pemerintah telah menetapkan
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Diantaranya adalah :
Ø Yang
berhak memberi pensiun adalah :
· Pejabat
yang berhak memberhentikan pegawai yang bersangkutan, dibawah pengawasan dan
koordinasi Kepala Kantor Urusan Pegawai.
Ø Yang
berhak mendapatkan uang pensiun adalah :
· Pegawai
yang diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri jikalau ia pada saat
pemberhentiannya masih berstatus sebagai pegawai negeri. Atau telah mencapai
usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan mempunyai masa kerja untuk pensiun
sekurang-kurangnya 20 tahun. Atau ia dinyatakan tidak dapat bekerja
lagi dalam jabatan apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani. Atau pegawai
tersebut mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 4 tahun dan oleh badan/pejabat
yang ditunjuk oleh Departemen Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja lagi
dalam jabatan apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani, yang tidak
disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatannya.
· Pegawai
negeri yang diberhentikan atau dibebaskan dari pekerjaannya dengan hormat
sebagai pegawai negeri karena penghapusan jabatan, perubahan dalam susunan
pegawai, penertiban aparatur negara atau karena alasan-alasan dinas lainnya dan
kemudian tidak dipekerjakan kembali sebagai pegawai negeri dan pada saat
pemberhentiannya sebagai pegawai negeri itu telah berusia sekurang-kurangnya 50
tahun serta memiliki masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.
· Pegawai
Negeri yang setelah menjalankan suatu tugas negara tidak dipekerjakan kembali
sebagai pegawai negeri. Ia juga berhak menerima pensiun-pegawai apabila ia
diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri dan pada saat pemberhentiannya
sebagai pegawai negeri ia telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan
memiliki masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.
· Apabila
pegawai negeri pada saat ia diberhentikan sebagai pegawai negeri telah memiliki
masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun akan tetapi pada saat itu
belum mencapai usia 50 tahun, maka pemberian pensiun kepadanya ditetapkan pada
saat ia mencapai usia 50 tahun. Namun Pemberian uang pensiun pegawai akan
dihentikan apabila penerima pensiun pegawai diangkat kembali menjadi pegawai
negeri atau diangkat kembali dalam suatu jabatan negeri.
· Selanjutnya
apabila pegawai negeri atau penerima pensiun pegawai meninggal dunia, maka
yang berhak menerima uang pensiun tersebut adalah isteri (isteri-isteri)nya
untuk pegawai negeri pria atau suaminya untuk pegawai negeri wanita, yang
sebelumnya telah terdaftar pada Kantor Urusan Pegawai. Jika pegawai negeri atau
penerima pensiun pegawai pria termaksud diatas beristeri lebih dari seorang,
maka pensiun janda diberikan kepada isteri yang paling lama ada pada waktu itu
dan tidak terputus-putus dinikahnya.
· Hak
isteri untuk mendapatkan pensiunan dapat dihapuskan oleh pemerintah jika
hubungan perkawinan dengan suami yang telah terdaftar terputus atau janda/duda
yang bersangkutan menikah lagi dengan lelaki lain.
· Lalu
jika pegawai negeri penerima dana pensiun tidak mempunyai isteri/suami lagi
yang berhak untuk menerima pensiun janda/duda atau bagian pensiun janda maka
pensiun itu diberikan kepada anak/anak-anaknya yang sesuai dengan kriteria yang
telah ditetapkan pemerintah.
· Hak
untuk menerima pensiun-pegawai atau pensiun-janda/duda akan dihapus jika
penerima pensiun-pegawai tidak seizin pemerintah menjadi anggota tentara atau
pegawai negeri suatu negara asing atau menurut keputusan
pejabat/badan negara yang berwenang ia dinyatakan salah karena melakukan
tindakan atau terlibat dalam suatu gerakan yang bertentangan dengan kesetiaan
terhadap Negara.
· Penghapusan
itu juga berlaku jika ternyata keterangan-keterangan yang diajukan sebagai
bahan untuk penetapan pemberian pensiun-pegawai/pensiun janda/ duda/bagian
pensiun-janda, tidak benar dan bekas pegawai negeri atau janda/duda/anak yang
bersangkutan sebenarnya tidak berhak diberikan pensiun.
Ketatnya ketentuan
pemerintah dalam permasalahan uang pensiun ini mengindikasikan bahwa mereka
sangat berhati-hati dalam mengalokasikan dana tunjangan tersebut. Pemerintah
menetapkan untuk memperoleh pensiun pegawai menurut Undang-undang, pegawai
negeri yang bersangkutan diharuskan untuk mengajukan surat permintaan uang
pensiun terlebih dahulu kepada Kepala Kantor Urusan Pegawai, disertai salinan
sah dari surat keputusan tentang pemberhentian ia sebagai pegawai negeri,
daftar riwayat pekerjaan, daftar susunan keluarga serta beberapa surat
keterangan lainnya.
Dari penjelasan
di atas timbul sebuah pertanyaan, bersetatus apakah uang pensiun
tersebut ?
Permasalahan uang
pensiun ini sangat erat kaitannya dengan dua istilah yang sudah familiar di
kalangan para intelektual fiqih, yakni Ujroh (upah, gaji)
dan Rizq(pemberian). Karena jika dipandang dari satu sisi, sekilas
karakteristik uang pensiun mirip dengan Ujroh (upah). Sebab,
uang tersebut berasal dari tabungan yang diambil dari sebagian gaji
pegawai penerima pensiun sewaktu masih aktif bekerja dan mengabdi pada
pemerintah. Namun di sisi lain, bila melihat realita yang ada, sebenarnya uang
pensiun yang diberikan kepada penerima pensiun tersebut tidak sepenuhnya
berasal dari jumlah uang tabungan dari penerima pensiun, karena apabila ada
seseorang pegawai negeri tetap yang baru bekerja enam bulan misalnya, kemudian
dia meninggal dunia, maka isterinya berhak menerima pensiun selama hidupnya,
dengan catatan tidak kawin lagi dengan orang lain. Sebaliknya jika ada
seseorang pegawai negeri yang sudah 40 tahun bekerja, kemudian meninggal dunia
dan setelah 5 bulan isterinya kawin lagi dengan orang lain, maka isteri
tersebut sudah tidak berhak menerima uang pensiun, padahal menurut perhitungan
akal, tabungan mantan suaminya masih banyak jumlahnya.
Rizq (pemberian) dan Ujroh (upah)
bukanlah dua kata yang sama artinya. Keduanya berbeda satu sama lain
sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Dzakhoir. Dalam
kitab tersebut, Rizq itu didefinisikan sebagai sebuah
pemberian yang mencukupi bagi seseorang bersama keluarganya, sedangkan Ujroh adalah
sebutan untuk sesuatu yang diberikan atas dasar saling rela (suka)[1]. Imam
al-Mawardi sendiri dalam kitabnya yakni Al-Hawy fi fiqh al-syafi`i, menjelaskan
bahwa diantara yang berhak mendapatkan Rizq adalah para
tentara perang yang berjihad untuk memperjuangkan agama Islam.[2] Mereka
mendapatkannya jika nama-nama mereka sudah tercantum dalam buku penerima gaji.
Sehingga yang tidak tercantum namanya tidak akan mendapatkannya. Di samping
itu, pemberian gaji itu juga merata sampai kepada istri dan anak-anak mereka.[3]
Penjelasan ini
menguatkan bahwa dana pensiunan adalah termasuk Rizq. Karena
pegawai negeri juga tercatat dalam buku penerima gaji dan
berdasarkan penentuan seorang imam (pemimpin tertinggi) sama seperti para
tentara perang. Dalam masalah jihad, para tentara perang akan memperoleh Rizq dari
imam dengan tujuan supaya mereka bisa fokus dalam berjihad dan tidak memikirkan
biaya keluarganya. Keadaan ini juga sama seperti yang terjadi pada
PNS.
Syaikh Nawawi
dalam kitab Tausyih-nya juga menjelaskan bahwasanya seorang imam
itu boleh mengalokasikan sisa gaji dari orang-orang yang mendapatkan Rizq kepada Mashalih
al-Muslimin (kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin). Termasuk dalam
hal ini orang-orang yang berilmu (alim) atau para Kyai, bahkan anak mereka juga
akan mendapatkan dana itu setelah mereka wafat. Dari penjelasan di atas sudah
sepatutnya pemerintah juga mengalokasikan dana pensiun tersebut kepada para
kyai beserta anak-anak mereka.[4]
Dengan demikian,
bisa disimpulkan dari uraian-uraian di atas bahwa dana pensiunan itu
diperbolehkan dan termasuk Irzaq (pemberian). Meskipun ada
sebagian ulama’ yakni Syaikh Muhammad al-Hamid dalam kitabnya Rudud
`Ala Abathil, tidak memperbolehkan mengambil dana pensiun dengan
alasan tidak ada wujud pekerjaan yang layak ada imbalannya, karena ia
telah dianggap sudah tidak menjadi pegawai.
Ketika kita
mengacu pendapat yang memperbolehkan dana pensiun, apakah uang tersebut
termasuk tirkah (harta peninggalan mayit) ? Pertama kita harus
mengetahui pengertian tirkah terlebih dulu. Dalam kitab Hasyiata
Qolyubi Wa `Umairah, karya monumental dua ulama` terkemuka yaitu
Syaikh Syihabuddin al-Qolyubi dan Ahmad al-Burlusi `Umairah disebutkan bahwa
pengartian tirkah adalah :
مَا تَخَلَّفَ عَنْ الْمَيِّتِ وَلَوْ بِسَبَبٍ أَوْ
غَيْرِ مَالٍ كَاخْتِصَاصٍ
Artinya : “Sesuatu
yang telah ditinggalkan oleh mayit, baik berupa harta maupun selainnya seperti
ikhtishos.”
Dari
definisi tirkah diatas dapat ditarik sebuah konklusi bahwa
sesuatu yang ditinggalkan bisa dianggap tirkah kalau memang
sudah dimiliki oleh mayit, bukan sesuatu yang akan dimiliki.[5] Hal
ini bisa dipahami dari ibarat (teks) yang menggunakan fi’il
madli (pekerjaan yang sudah lewat). Dengan demikian, gaji
pensiunan tidak dapat dianggap sebagai harta warisan karena ia adalah
sejumlah uang yang akan diterima dan akan berpindah ke ahli waris itu.
Jadi bisa
disimpulkan dari deskripsi di atas bahwa uang pensiunan yang diberikan
oleh Pemerintah itu tidak dimasukkan dalam penghitungan harta yang
diwasiatkan. Dan ia juga tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqih klasik
sehingga tidak ada istilah khusus untuk menyebut uang pensiun itu. Karena ia
hanya merupakan santunan yang aturannya sudah ditetapkan oleh pemerintah
sendiri.
Ibarat :
حاشيتا قليوبي وعميرة ج 3 ص 125
قَوْلُهُ : ( تَرِكَةِ ) هِيَ مَا تَخَلَّفَ عَنْ الْمَيِّتِ وَلَوْ
بِسَبَبٍ أَوْ غَيْرِ مَالٍ كَاخْتِصَاصٍ وَلَوْ خَرَّ تَخَلَّلَتْ
بَعْدَ مَوْتِهِ وَحَدِّ قَذْفٍ وَخِيَارٍ وَشُفْعَةٍ وَمَا وَقَعَ مِنْ صَيْدٍ
بَعْدَ مَوْتِهِ فِي شَبَكَةٍ نَصَبَهَا قَبْلَهُ وَإِنْ انْتَقَلَ مِلْكُ
الشَّبَكَةِ لِلْوَارِثِ وَدِيَةِ قَتْلٍ وَلَوْ بِعَفْوٍ عَنْ قِصَاصٍ مِنْ
وَارِثِهِ .
نهاية المنهاج شرح المنهاج ج 5 ص 291
( لَا تَصِحُّ إجَارَةُ مُسْلِمٍ لِجِهَادٍ ) وَلَوْ صَبِيًّا وَعَبْدًا
وَإِنْ قَصَدَ إقَامَةَ هَذَا الشِّعَارِ وَصَرَفَ عَائِدَتَهُ لِلْإِسْلَامِ
فِيمَا يَظْهَرُ لِتَعَيُّنِهِ عَلَيْهِ بِحُضُورِ الصَّفِّ مَعَ وُقُوعِهِ عَنْ
نَفْسِهِ ، وَبِهِ فَارَقَ حِلَّ أَخْذِهِ الْأُجْرَةِ عَلَى نَحْوِ تَعْلِيمٍ
تَعَيَّنَ عَلَيْهِ ، وَأَفْتَى الْبُلْقِينِيُّ بِإِلْحَاقِ الْمُرَابِطَةِ
عِوَضًا عَنْ الْجُنْدِيِّ بِالْجِهَادِ فِي عَدَمِ صِحَّةِ الِاسْتِئْجَارِ لَهَا
، أَمَّا الذِّمِّيُّ فَتَصِحُّ لَكِنْ لِلْإِمَامِ فَقَطْ اسْتِئْجَارُهُ
لِلْجِهَادِ كَمَا يَأْتِي فِي بَابِهِ....إلى أن قال... وَمَا
جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ جَعْلِ جَامَكِيَّةٍ عَلَى ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنْ
بَابِ الْإِجَارَةِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ بَابِ الْإِرْزَاقِ وَالْإِحْسَانِ
وَالْمُسَامَحَةِ بِخِلَافِ الْإِجَارَةِ فَإِنَّهَا مِنْ بَابِ الْمُعَاوَضَةِ.
المجموع شرح المهذب ج 3 ص 128
قال صاحب الذخائر الفرق بين الرزق والاجرة ان الرزق أن يعطيه كفايته
هو وعياله والاجرة ما يقع به التراضي.
تحفة المحتاج فى شرح المنهاج ج 7 ص 139
( وَكَذَا ) يُعْطَى مُمَوَّنُ الْمُرْتَزِقِ مَا يَلِيقُ بِذَلِكَ
الْمُمَوَّنِ ، وَهُوَ ( زَوْجَتُهُ ) ، وَإِنْ تَعَدَّدَتْ وَمُسْتَوْلَدَاتُهُ (
وَأَوْلَادُهُ ) ، وَإِنْ سَفَلُوا وَأُصُولُهُ الَّذِينَ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُمْ
فِي حَيَاتِهِ بِشَرْطِ إسْلَامِهِمْ كَمَا بَحَثَهُ الْأَذْرَعِيُّ وَاعْتُرِضَ
بِأَنَّ ظَاهِرَ إطْلَاقِهِمْ أَنَّهُ لَا فَرْقَ وَيُوَجَّهُ بِأَنَّهُ
يُغْتَفَرُ فِي التَّابِعِ الْمَحْضِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الْمَتْبُوعِ ( إذَا
مَاتَ ) .وَإِنْ لَمْ يُرْجَ كَوْنُهُمْ مِنْ الْمُرْتَزِقَةِ بَعْدُ لِئَلَّا
يُعْرِضُوا عَنْ الْجِهَادِ إلَى الْكَسْبِ لِإِغْنَاءِ عِيَالِهِم ... إلى أن
قال ... ( فَتُعْطَى ) الْمُسْتَوْلَدَةُ (وَالزَّوْجَةُ حَتَّى تَنْكِحَ
) أَوْ تَسْتَغْنِيَ بِكَسْبٍ ، أَوْ غَيْرِهِ فَإِنْ لَمْ تَنْكِحْ فَإِلَى
الْمَوْتِ ، وَإِنْ رُغِبَ فِيهَا عَلَى مَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ (
وَالْأَوْلَادُ ) الذُّكُورُ وَالْإِنَاثُ ( حَتَّى يَسْتَقِلُّوا ) أَيْ
يَسْتَغْنُوا وَلَوْ قَبْلَ الْبُلُوغِ بِكَسْبٍ ، أَوْ نَحْوِ وَصِيَّةٍ ، أَوْ
وَقْفٍ ، أَوْ نِكَاحٍ لِلْأُنْثَى ، أَوْ جِهَادٍ لِلذَّكَرِ وَكَذَا
بِقُدْرَتِهِ عَلَى الْكَسْبِ إذَا بَلَغَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ ؛ لِأَنَّهُ
بِالْبُلُوغِ صَلُحَ لِلْجِهَادِ فَإِذَا تَرَكَهُ وَلَهُ قُدْرَةٌ عَلَى الْكَسْبِ
لَمْ يُعْطَى ثُمَّ الْخِيَرَةُ فِي وَقْتِ الْعَطَاءِ إلَى الْإِمَامِ كَجِنْسِ
الْمُعْطَى.
الحاوي في فقه الشافعي ج 8 ص 443
وجملة المجاهدين ضربان : مرتزقة ، ومتطوعة . فأما المرتزقة فهم الذين
فرغوا أنفسهم للجهاد فلم يشغلوا إلا به الفيء وثبتوا في الديوان فصاروا جيشا
للمسلمين ومقاتلة للمشركين ، فهؤلاء يرزقون من أربعة أخماس الفيء ولا حق لهم في
الصدقات ، وأما المتطوعة فهم أرباب المعائش والصنائع ، والأعراب الذين
يتطوعون بالجهاد إن شاءوا ويقعدون عنه إن أحبوا ولم يثبتوا في الديوان ولا جعل لهم
رزق ، فهؤلاء يعطون من الصدقات من سهم سبيل الله ولا حق لهم في الفيء
إحياء علوم الدين – ج 2 ص 140المكتبة الشاملة
وانما النظر في الأموال الضائعة ومال المصالح فلا يجوز صرفه إلا إلى
من فيه مصلحة عامة أو هو محتاج إليه عاجز عن الكسب فأما الغني الذي لا مصلحة فيه
فلا يجوز صرف مال من بيت المال إليه هذا هو الصحيح وان كان العلماء قد اختلفوا
فيه وفي كلام عمر رضي الله عنه ما يدل على أن لكل مسلم حقا في بيت
المال لكونه مسلما مكثرا جمع الإسلام ولكنه مع هذا ما كان يقسم المال على المسلمين
كافة بل على مخصوصين بصفات فإذا ثبت هذا فكل من يتولى أمرا يقوم به تتعدى مصلحته
إلى المسلمين ولو اشتغل بالكسب لتعطل عليه ما هو فيه فله في بيت المال حق
الكفاية ويدخل فيه العلماء كلهم أعنى العلوم التي تتعلق بمصالح
الدين من علم الفقه و الحديث و التفسير و القراءة حتى يدخل فيه المعلمون و
المؤذنون وطلبة هذه العلوم أيضا يدخلون فيه فإنهم إن لم يكفوا لم
يتمكنوا من الطلب ويدخل فيه العمال وهم الذين ترتبط مصالح الدنيا
بأعمالهم وهم الأجناد المرتزقة الذين يحرسون المملكة بالسيوف عن أهل العداوة وأهل
البغي وأعداء الإسلام -إلى أن قال- فإن هذا المال للمصالح و المصلحة
إما أن تتعلق بالدين أو بالدنيا فبالعلماء حراسة الدين وبالأجناد حراسة
الدنيا و الدين و الملك توأمان فلا يستغني أحدهما عن الآخر
b. Bagaimana
hukum pernikahan tanpa dicatatkan di KUA?
Jawaban :
Hukum pernikahan
ketika sudah memenuhi syarat dan rukunnya adalah sah, adapun hukum tidak
mencatatkannya ke KUA adalah haram karena tidak mentaati aturan pemerintah, hal
ini menurut pendapat Imam Nawawi, adapun menurut pendapat Imam Jalaluddin
Al-Bulqini tidak haram karena tidak ada kewajiban agama kecuali hal-hal yang sudah
diwajibkan oleh syara’.
Uraian Jawaban:
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai
ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan
ajaran agama. al-Qur`an menggunakan kata ini
untuk makna tersebut, di samping secara majazi
diartikannya dengan "hubungan seks". Secara bahasa pada
mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".[6]
Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Secara umum
Al-Qur`an hanya menggunakan dua kata ini untuk
menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara
sah.
Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan ketetapan
Ilahi atas segala makhluk.
Hakikat ini ditegaskan oleh al-Qur`an antara lain dengan firman-Nya:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya
: “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar
kamu menyadari (kebesaran Allah).” (QS Al-Dzariyat [51]: 49)
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum
dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena
itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan
antara pria dan wanita, dan kemudian
mengarahkan pertemuan itu sehingga
terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria dan wanita
menjadi ketenteraman atau sakinah
dalam istilah al-Qur`an surat Ar-Rum (30): 21.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً
وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” ( QS. Ar-Rum
(30): 21.)
Nikah
merupakan bagian dari perjalanan hidup yang bakal terukir dalam sanubari serta
merupakan sunnah Rasulullah SAW. yang dapat menyempurnakan nilai
Islam seseorang. Sebab ia menjadi satu-satunya jalan untuk menghalalkan segala
bentuk hubungan yang diharamkan antara laki-laki dan perempuan. Dengan menikah,
seseorang dapat terhindar dari perbuatan dosa, mata dapat terjaga dari
perbuatan maksiat, nafsunya pun dapat tersalurkan secara benar dan menjadi
tidak liar. Dalam sabdanya, Rasulullah SAW sangat menganjurkan nikah dan
mengancam orang-orang yang membenci pernikahan.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاهَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: ”
Wahai para pemuda, barangsiapa dari kalian yang mempunyai biaya maka
nikahlah, karena nikah lebih memejamkan mata dan lebih menjaga diri dari zina.
Dan barangsiapa tidak mampu maka berpuasalah, sesungguhnya puasa adalah perisai
baginya ( dari berbuat maksiat)”. (HR. Bukhori)
Guna tujuan tersebut al-Qur`an antara lain menekankan perlunya
kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Yang
tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk
menahan diri dan memelihara kesuciannya dengan berpuasa
sesuai yang dianjurkan oleh nabi dalam hadistnya.
Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa
walaupun al-Qur`an menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan
Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasul
menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang
sama al-Qur`an
dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus
diindahkan demi legalitas pernikahan tersebut. Dan ketentuan direalisasikan
dengan adanya beberapa syarat dan rukun nikah. Semua ketentuan ini ditetapkan
guna mengantisipasi praktek-praktek perzinaan yang amat berbahaya serta
melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Pada zaman dahulu kaum muslimin mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah
dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu adanya campur tangan pemerintah
melalui pencatatan resmi. Karena dalam perspektif fiqih, legalitas sebuah
pernikahan tidak membutuhkan campur tangan mereka. Cukup dengan terpenuhi semua
rukun dan syarat nikah yang ada maka akad nikah tersebut sudah dihukumi sah
secara syara`.
Namun,
dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, di mana dimungkinkan
para saksi untuk lupa, lalai, meninggal dunia dan sebagainya, maka pemerintah
RI melalui departemen agama menetapkan bahwa akad nikah dapat dihukumi sah
secara agama adalah akad nikah yang ditulis dalam catatan resmi oleh
pihak pemerintah yang bersangkutan
(KUA).
Pemerintah
melalui departemen agamanya menetapkan peraturan tersebut dengan adanya
beberapa pertimbangan yang matang. Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki
beberapa manfaat yang banyak sekali, di antaranya:
1). Menjaga hak
dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan
dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa
digugat untuk mendapatkan hak tersebut.
2). Menyelesaikan
persengkatan antara suami istri atau para walinya ketika mereka bersengketa dan
berselisih, karena bisa jadi salah satu di antara mereka akan mengingkari suatu
hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena
saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa
diingkari.
3). Catatan dan
tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang bertanda
tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap waktu.
Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara
penentuan hukum.
4). Catatan nikah
akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan
diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta
penghalang-penghalangnya.
5). Menutup pintu
pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana bisa saja sebagian orang
yang hatinya rusak mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk
menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatannya hanya karena mudahnya suatu
pernikahan dengan saksi palsu.
Maka
dari itu, pemerintah membuat undang-undang agar pernikahan warganya dicatat
oleh pegawai yang telah ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan
politik syar’i yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat di
baliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya
pengingkaran.
Hal ini sesuai
dengan salahsatu dasar penetapan sebuah hukum syari`at, yaitu agama Islam
dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Jadi, apabila pemerintah
memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu
adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak
melanggarnya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ
وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa’: 59)
Dan masih banyak
lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kepada kita untuk taat kepada pemimpin
selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.[7] Dalam
sebuah kaidah fiqih yang populer dikatakan:
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ
بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya : “Ketetapan
pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat”.
Selain itu, kewajiban
taat pada peraturan pencatatan pernikahan juga ditinjau dari aspek adanya
sanksi bila ketetapan itu dilanggar oleh seseorang. Hal ini jelas
menimbulkan madlarat (bahaya) pada dirinya sendiri. Sementara
itu telah kita ketahui bahwa memberikan madlarat pada
diri sendiri itu dilarang syara`, meskipun yang memberi madlarat (sanksi)
tidak dibenarkan oleh agama.
Dari semua
keterangan ini secara otomatis mengakibatkan segala bentuk pernikahan yang
menyalahi aturan tersebut dengan tidak mencatatkannya dalam catatan resmi
pemerintah akan dianggap sebagai pernikahan ilegal meskipun sudah dianggap sah
secara agama.
Perkawinan yang
tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama
Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non Islam) ini memiliki beberapa
sebutan lain. Seperti Perkawinan bawah tangan, ''kawin bawah tangan'', ’kawin
siri’ atau ’nikah sirri’. Ia mendapat perhatian khusus dari para
ulama' kontemporer sehingga mereka memunculkan istilah khusus untuk menyebut pernikahan
ini yaituZawaj ‘Urfi (nikah urfi). Yaitu suatu pernikahan yang
memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak dicatat secara resmi oleh
pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA). Disebut dengan nikah
‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang
berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi dan para sahabat yang mulia,
di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada
permasalahan dalam hati mereka.[8]
Dari
definisi tersebut di atas, dapat kita fahami bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’i dengan
pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi,
karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan
terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan saksi, hanya saja
belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA
setempat sehingga mudah untuk digugat.
Tetap legalnya
pernikahan `urfi ini didukung dengan beberapa argumen.
Diantaranya :
Ø Tujuan
pencatatan akad nikah adalah menjaga hak suami istri, dan nasab anak apabila
terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah bisa terwujudkan dengan adanya saksi
dan mengumumkan pernikahan.
Ø Tidak
ada dalil syar’i untuk mengatakan bahwa pencatatan akad nikah adalah
syarat sahnya pernikahan.
Ø Pencatatan
akad nikah tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat dan ulama`salaf, mereka hanya
mencukupkan dengan saksi dan mengumumkan pernikahan.
Dari keterangan
di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh
si istri dengan orang lain tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai
pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah
terpenuhi. Namun hukumnya haram karena tidak menaati undang-undang pernikahan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah, apalagi jika pencatatan itu adalah
sebuah keharusan dari pemerintah yang harus ditaati. Bila ketetapan itu
dilanggar, maka pemerintah akan memberi sanksi. Perbuatan itu jelas
menimbulkan madlarat (bahaya) pada dirinya sendiri. Padahal
memberikanmadlarat pada diri sendiri itu tidak diperbolehkan dalam
pandangan syara`, meskipun yang memberi madlarat (sanksi)
tidak dibenarkan oleh agama. Keharaman ini berlaku jika kita mengikuti pendapat
ulama` Mutaakhirin. Adapun menurut pendapat Imam Jalaluddin
al-Bulqini, tidak menaati pemimpin (imam) secara umum dan terkait dengan
pelanggaran berupa tidak mencatatkan pernikahan dengan resmi secara khusus hukumnya
tidaklah haram karena menurut beliau tidak ada kewajiban dalam agama kecuali
hal-hal yang sudah diwajibkan oleh syara’.[9]
Ibarat :
أرشيف ملتقى اهل الحديث ج 1 ص 1798
المطلب الثاني : الفرق بين الزواج العرفي والشرعي والرسمي ونكاح السر
أولاً: الفرق بين الزواج العرفي والزواج الشرعي: التعريفات السابقة تظهر بوضوح أن
الزواج العرفي هو الزواج الشرعي بعينه، فلا فرق بين هذين النوعين من الزواج، وعلى
ذلك ينطبق على الزواج العرفي التعريف الذي عرفنا به الزواج عند علمائنا، وقد صرحت
التعريفات التي سبق ذكرها بهذه الحقيقة، وممن صرح بها فضيلة الشيخ حسنين مخلوف
رحمه الله، فقد سُئل عن زواج توافرت فيه شروط العقد وأركانه، ونص السؤال:
"هل إذا عقد الزوجان زواجهما بإيجاب وقبول شرعيين وبحضور شاهدين مستوفيين
للشرائط الشرعية بدون إثبات العقد في وثيقة رسمية لدى المأذون أو الموظف المختص
يكون زواجاً شرعياً وتحل به المعاشرة بينهما، أو لابد من إثباته في الوثيقة
الرسمية؟".
وقد أجاب الشيخ على هذا السؤال بقوله: "عقد الزواج إذا استوفى
أركانه وشروطه الشرعية تَحِلُّ به المعاشرة بين الزوجين، وليس من شرائطه الشرعية
إثباته كتابة في وثيقة رسمية ولا غير رسمية، وإنما التوثيق لدى
المأذون أو الموظف المختص، نظام أوجبته اللوائح والقوانين الخاصة بالمحاكم الشرعية
خشية الجحود وحفظاً للحقوق، وحذّرت من مخالفته لما لهُ من النتائج الخطيرة عند
الجحود".
ويقول المحامي ممدوح عزمي في مقدمة الكتاب الذي دونه للتعريف بالزواج العرفي:
"نتعرض في هذا الباب إلى بيان تعريف الزواج بصفة عامة وانطباق هذا التعريف
على الزواج العرفي". ثم يقول: "والجدير بالذكر أن الزواج العرفي يجب ان
تتوفر فيه ذات الشروط والأركان التي يجب توافرها في الزواج الرسمي الموثق".
ويقول أيضاً: "إذا تأملنا في عقد الزواج وكونه عقداً رضائياً (مع وجود
شاهدين) نجد أن هذا التعريف لم يفرق بين ما إذا كان الزواج عقداً مكتوباً أو غير
مكتوب، موثقاً أو غير موثق، رسمياً أو عرفياً، لذلك فقد اتفق أهل الفقه على أنه لا
فرق بين تعريف الزواج العرفي أو الزواج الرسمي الموثق... ونخلص مما سبق أن تعريف
الزواج العرفي ينحصر في كونه عقداً عرفياً بمقتضاه يحل للعاقدين الاستمتاع ببعضهما
على الوجه المشروع بمجرد ثبوت التراضي فيما بينهما شريطة وجود شاهدي عدل على هذا
الزواج ليتحقق شرط الإشهاد في نظر عاقديه".
بغية المسترشدين ص 189
(مسألة : ك) : يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال
الظاهر ، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع
إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه ، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو
حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة ، ثم مال إلى
الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط ، وما عداه إن كان فيه
مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً ، والعبرة في المندوب
والمباح بعقيدة المأمور ، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال ، ومعنى
باطناً أنه يأثم اهـ. قلت : وقال ش ق : والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما
أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه ، فالواجب يتأكد ، والمندوب يجب ،
وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي
الهيئات ، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق
والقهاوي ، فخالفوه وشربوا فهم العصاة ، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره ، ولو أمر
الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.
مقالات الكوثري ص 106
وأما ما وقع في كلام بعض المتأخرين من من أصحاب الطبقات النازلة في
الفقه من أن ولي الأمر إذا أمر بمباح وجب امتثاله, وكذا إذا نهى عن مباح
كما الدر والأنقروية نفى غير موارد النصوص, وأما ما ورد فيه نص فلا معدل فيه عن
النص, إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق, فيكون جعل ذلك الرأي قاعدة شاملة
للنصوص وغيره مما لم يفي به عالم قبل اليوم.
أشباه والنظائر للسيوطى ص 556
تَنْبِيهٌ : مِنْ الْمُشْكِلَاتِ : مَا وَقَعَ فِي فَتَاوَى النَّوَوِيِّ :
أَنَّهُ لَوْ أَمَرَ الْإِمَامُ النَّاسَ بِصَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي
الِاسْتِسْقَاءِ وَجَبَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ بِأَمْرِهِ حَتَّى يَجِبُ تَبْيِيتُ
النِّيَّةِ قَالَ الْقَاضِي جَلَالُ الدِّينِ الْبُلْقِينِيُّ فِي
حَاشِيَةِ الرَّوْضَةِ : وَهَذَا كَلَامٌ لَمْ يَقُلْهُ أَحَدٌ مِنْ الْأَصْحَابِ
بَلْ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْأَيَّامَ يُسْتَحَبُّ الصَّوْمُ فِيهَا لَا
خِلَافَ فِي ذَلِكَ كَيْفَ يُمْكِنُ أَنْ يَجِبَ شَيْءٌ بِغَيْرِ إيجَابِ اللَّهِ
أَوْ مَا أَوْجَبَهُ الْمُكَلَّفُ عَلَى نَفْسِهِ تَقَرُّبًا إلَى اللَّهِ
تَعَالَى وَقَدْ { قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِلْأَعْرَابِيِّ الَّذِي سَأَلَ عَنْ الْفَرَائِضِ قَالَ : هَلْ عَلَيَّ
غَيْرُهَا ؟ قَالَ لَا } فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ شَيْءٌ إلَّا
بِإِيجَابِ اللَّهِ تَعَالَى كِتَابَةً أَوْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ وَقَدْ
{ أَمَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ } وَلَمْ يَقُلْ
أَحَدٌ بِوُجُوبِهِ مَعَ أَنَّ أَمْرَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
أَعْظَمُ مِنْ أَمْرِ الْأَئِمَّةِ ثُمَّ إنَّ نَصَّ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ
دَالٌّ عَلَى ذَلِكَ أَيْضًا .فَإِنَّهُ قَالَ فِي الْأُمِّ : وَبَلَغَنَا عَنْ
بَعْضِ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُ كَانَ إذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَسْقِيَ أَمَرَ
النَّاسَ فَصَامُوا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَةٍ وَتَقَرَّبُوا إلَى اللَّهِ
تَعَالَى بِمَا اسْتَطَاعُوا مِنْ خَيْرٍ ثُمَّ خَرَجُوا فِي الْيَوْمِ الرَّابِعِ
فَاسْتَسْقَى بِهِمْ وَأَنَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُمْ وَآمُرُهُمْ أَنْ يَخْرُجُوا
فِي الْيَوْمِ الرَّابِعِ صِيَامًا مِنْ غَيْرِ أَنْ أُوجِبَ عَلَيْهِمْ وَلَا
عَلَى إمَامِهِمْ انْتَهَى .
مقالات الكوثري ص 107
ويفول الشيخ عبد الغني النابلسي الحنفي في شرحه على
الطريقة المحمدية عند كلامه في التتن والقهوة : وأمر السلطان ونهيه إنما يعتبران
إذا كانا على طبق أمر الله تعالى ونهيه لا على مقتضى نفسه وطبعه. بل لو فرضنا أن
أمر النبي صلى الله عليه وسلم ونهيه كان من تلفاء نفسه لا من أمر الله ونهيه –
وحاشاه صلى الله عليه وسلم من ذلك – لما وجب علينا امتثال ذلك فكيف يجب علينا
امتثال أمر السلطان أو نهيه الصادر من مجرد رأيه وعقله ما لم يكن موافقا لحكم الله
تعالى إلا إذا ظلم السلطان وجار وشدد على الناس وضيق عليهم فى النهي عن هذين
المباحين, وخاف الناس على أنفسهم من شره خصوصا إذا كان يستحل دماء المسلمين ويوجب
تعزيرهم في رأيه بسبب فلا يجوز أن يلقى أحد بنفسه إلى التهلكة, فيكف المؤمن عن استعمال ذلك بهذا السبب لا معتقدا الحرمة أو الكراهة بل
حاقنا دمه وعرضه. إلى آخر ما فى الحديقة الندبة لعبد الغني النابلسي (ج 1 ص 143).
والحاصل أن ما أباحه الله سبحانه ليس إلى احد تحريمه كما
سبق.
2. Bagaimana
hukum pernikahan tanpa dicatatkan di KUA dengan motivasi diatas?
Jawaban :
Haram, karena
mengandung unsur penipuan, adapun aqad nikahnya sah.
Uraian Jawaban :
Kejujuran adalah
perhiasan jiwa yang lebih bercahaya daripada berlian. Betapa pentingnya sebuah
kejujuran hingga sifat terpuji itu menjadi syarat mutlak yang wajib dimiliki
seorang rasul. Sebaliknya, betapa tercelanya kebalikan dari kejujuran, yakni
kebohongan, hingga perilaku negatif itu dijadikan salahsatu kriteria
mutlak seorang hipermoralis (munafik).
Kebohongan atau
penipuan adalah perilaku yang sangat dilarang oleh agama.[10] Karena
perbuatan haram tersebut dapat menimbulkan banyak mafsadah(kerusakan).
Minimal dapat menyesatkan orang yang dibohongi dari kebenaran yang nyata.
Karena dampak negatif yang ada inilah, para pelaku perbuatan menipu atau berbohong
secara tegas diancam oleh Allah swt. akan dijebloskan ke neraka
dengan berbagai macam siksa yang pedih. Ancaman Allah swt ini dijelaskan
melalui lisan nabi pembawa risalah-Nya yaitu Muhammad SAW:
الْمَكْرُ وَالْخَدِيْعَةُ فِى النَّارِ
Artinya: ''(Pelaku)
perbuatan makar dan menipu (masuk) ke dalam neraka.''(HR. Turmudzi).
Memang, pada
beberapa kasus tertentu berbohong terkadang dilegalkan oleh agama. Bahkan
terkadang hukumnya wajib, seperti ketika kebohongan tersebut tidak dilakukan,
maka akan mengakibatkan bahaya hilangnya nyawa orang lain. Namun
diperbolehkannya berbuat bohong tersebut hanyalah sebuah pengecualian dari
hukum asal penipuan yang haram. Disamping itu kebolehan berbohong masih
disertai dengan beberapa syarat ketat lain yang harus terpenuhi.[11]
Di zaman sekarang
semuanya berubah 180 derajat, kebanyakan orang lebih terbuai dan silau dengan
kerlap-kerlip berlian daripada cahaya kejujuran. Keterbalikan ini sangat
terkait dengan arus modernisasi yang telah menerjang kehidupan manusia. Karena
meskipun modernisasi di satu sisi berdampak positif bagi kehidupan umat
manusia, namun di sisi lain ternyata telah melahirkan dampak yang kurang
menguntungkan bagi kehidupan mereka sendiri, yaitu dengan menggejalanya
berbagai problema yang semakin kompleks, baik yang bersifat personal maupun
sosial. Pola berpikir dan lifestyle (gaya hidup) mereka yang
terlalu berorientasi kepada kemajuan dalam bidang material (pemenuhan kebutuhan
biologis) telah menelantarkan supra empiris manusia sehingga terjadi pemiskinan
spiritual dalam diri mereka. Kondisi ini ternyata sangat kondusif bagi
perkembangan problematika pribadi dan sosial yang terekspresikan
dalam suasana psikologis yang kurang nyaman, seperti perasaan cemas
dan stress, serta terjadinya penyimpangan moral atau sistem nilai.
Kondisi inilah yang menjadi salahsatu stimulus sehingga mereka berani
meng''anaktiri''kan kejujuran demi memperoleh materi dengan berbagai macam cara
meskipun cara itu dilarang agama.[12]
Perbuatan yang
dilakukan si isteri mendiang pegawai negeri seperti yang tercantum dalam
deskripsi diatas dapat dikategorikan sebagai bentuk penipuan. Dimana
supaya si istri tetap mendapatkan uang pensiunan, ia berani menipu pemerintah
dengan berpura-pura belum menikah lagi dengan orang lain, padahal kenyataannya
berbeda. Ia telah membina bahtera rumah tangga lagi, namun pernikahannya
dilakukan tanpa dicatatkan ke catatan resmi negara dengan tujuan supaya uang
pensiun dari suaminya yang telah meninggal dunia bisa tetap mengalir ke
sakunya.
Motif jahat
semacam ini hanyalah salahsatu dari banyak motif yang mendorong seseorang
enggan mencatat pernikahan di KUA. Masih ada beberapa motif lain. Diantaranya :
Ø Ada
yang dilakukan untuk poligami.
Ø Untuk
penjajakan sebelum pernikahan yang tercatat dilakukan sehingga bila terjadi
ketidakcocokan tidak menimbulkan konsekuensi hukum lain.
Ø Ada
hal-hal yang disembunyikan sehingga takut diketahui oleh khalayak dan
pemerintah, misalnya dilarang oleh instansinya, tidak mau repot, demi karier,
takut merusak citra diri kalau ketahuan sudah menikah, dan pertimbangan
lainnya, misalnya belum cukup umur, atau menutupi aib.
Ibarat pisau
bermata dua, pernikahan tanpa ''restu negara'' ini bisa menimbulkan
kebahagiaan, sekaligus merugikan. Jika pelaku tidak bijak menyikapi, kerap
terjadi disharmonisasi sosial akibat pernikahan ilegal menurut negara itu.
Sebab perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai
pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata
hukum yang berlaku.
Selain
itu “perkawinan di bawah tangan negara” ini memiliki dampak yang sangat
merugikan bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial.
Secara hukum pihak wanita tidak dapat dianggap sebagai istri sah, tidak berhak
atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia serta tidak berhak
atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan
anda dianggap tidak pernah terjadi. Sedang secara sosial ia akan sulit
bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering
dianggap telah tinggal serumah dengan lak-laki tanpa ikatan perkawinan (alias
kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan.
Dampak buruk
pernikahan ini juga menjalar ke anak. Jika pernikahan dengan cara tersebut
tetap dilakukan, maka akan berdampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di
mata hukum positif Indonesia. Diantaranya status anak yang dilahirkan dianggap
sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibu. Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap
sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang
melahirkannya.
Jadi, dari
beberapa pertimbangan diatas dapat ditarik sebuah jawaban bahwa hukum
pernikahan yang dilakukan si isteri dengan lelaki lain tanpa mencatatkannya ke
dalam catatan resmi pemerintah dengan motivasi supaya ia masih tetap bisa
mendapatkan jatah uang pensiun suaminya yang telah meninggal dunia adalah
haram, karena mengandung unsur penipuan. Adapun hukum pernikahan yang dilakukan
tetap sah secara syara`.
Ibarat :
سبل السلام شرح بلوغ المرام ج 3 ص 52
وعن أبي هررة رضي الله عنه "أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على
صبرة" الصبرة بضم الصاد المهملة وسكون الموحدة الكومة المجموعة "من
الطعام " من طعام "فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا فقال: "ما هذا
يا صاحب الطعام؟" قال أصابته السماء يا رسول الله قال: "أفلا جعلته فوق
الطعام كي يراه الناس من غش فليس مني" رواه مسلم قال النووي كذا في الأصول
مني بياء المتكلم وهو صحيح ومعناه ليس ممن اهتدى بهديي واقتدى بعلمي وعملي وحسن
طريقتي وقال سفيان بن عيينة يكره تفسيير مثل هذا ونقول نمسك عن تأويله ليكون أوقع
في النفوس وأبلغ في الزجر والحديث دليل على تحريم الغش وهو مجمع شرعا
مذموم فاعله عقلا
إسعاد الرفيق ج 2 ص 51
(و) منها (مكر) والخديعة باحد المسلمين وهما من الكبائر كما فى الزواجر لقوله
عليه الصلاة والسلام : المكر والخديعة فى النار كما اخرجه الترمذي . وأخرج ايضا
ابو نعيم : من غشنا فليس منا والمكر والخداع فى النار, والرافعي : ليس منّا من غش
مسلما او ضرّه او ماكره.
3. Halalkah
uang pensiunan setelah nikah seperti diatas ?
Jawaban :
Haram, karena
menerima dana tidak pada posnya.
Pertimbangan:
Di antara hak
Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada
terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesuka-Nya,
sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar
ibadah dengan sesuka-Nya. Ini semua adalah hak Ketuhanan dan tidak ada hak
sedikitpun bagi manusia untuk berpaling dan melanggarnya.
Namun, Allah juga
berbelas-kasih kepada hamba-Nya. Oleh karena itu dalam menentukan halal dan
haram, Allah menetapkannya dengan berlandaskan alasan yang ma'qul (rasional)
demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Maka dari itu, apapun yang dihalalkan
Allah pasti itu baik bagi hamba-Nya dan apapun yang diharamkan-Nya pasti itu
jelek.
Lalu halal atau
haramkah uang pensiun yang diterima sang isteri yang telah menikah lagi dengan
orang lain?
Jika kita
menganalisa tindakan pelaku terkait melalui kacamata fiqih, maka tindakan
tersebut sangat erat korelasinya dengan satu bab yakni ghoshob.
Di kalangan
intelektual fiqih, ghosob didefinisikan sebagai bentuk
penguasaan terhadap hak (harta atau manfaat) orang lain dengan sewenang-wenang
tanpa adanya hak (dzalim). Perbuatan ini sangat dilarang oleh syara`.
dan termasuk kategori dosa besar. Dalam hal ini Allah swt. Berfirman
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil.” (QS. Al-Nisa`: 29).
Ayat ini menjelaskan
bahwa diantara perbuatan yang telah ditetapkan Allah swt. sebagai perkara yang
haram adalah memakan segala sesuatu yang diperoleh dengan cara
yang batil. Adapun maksud dari kata batil yang
termaktub dalam kalam-Nya, para ulama` ahli tafsir mengartikannya sebagai
cara-cara penguasaan sesuatu hak yang tidak diperbolehkan syara`, seperti
riba, judi, ghosob, pencurian, pengkhianatan, dll.[13]
Sebelumnya telah
dijelaskan bahwa status uang pensiun adalah rizq(pemberian) dari
pemerintah. Yakni sebuah pemberian yang mencukupi bagi seseorang bersama
keluarganya dengan syarat namanya telah tercatat dalam buku para penerima gaji
yang sudah ditetapkan pemerintah.
Dalam
mengalokasikan dana tunjangan ini pemerintah menyertakannya dengan beberapa
ketentuan yang ketat. Pos uang pensiun tersebut telah ditentukan
oleh pemerintah sehingga yang berhak mendapatkannya
hanyalah orang-orang tertentu saja, disertai
terpenuhinya kriteria-kriteria yang diatur dalam Undang-UndangTentang
Pensiun Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Diantara yang berhak
mendapatkannya adalah isteri atau duda dari pegawai negeri yang meninggal dunia
dengan syarat belum menikah dengan orang lain.
Penentuan pos
uang negara ini sangat perlu dilakukan supaya uang tersebut tidak
mengalir ke saku rakyat dengan semena-mena. Hal ini sesuai dengan kaidah
fiqih bahwa semua tasharruf (tindakan atau perbuatan) seorang
imam (pemimpin negara) harus berdasarkan pertimbangan maslahat yang ada. Tidak
boleh baginya menetapkan peraturan atau mengalokasikan dana baitul mal (kas
negara) ke sembarang tempat jika tidak ada kemaslahatan yang kembali kepada
negara atau rakyat.
Persoalan yang ada
dalam deskripsi diatas mirip dengan satu kasus yang dipaparkan oleh para
intelektual fiqih, yaitu jika ada seseorang memberikan hibah (pemberian) berupa
uang kepada orang lain yang disangka telah memenuhi syarat yang ditetapkannya.
Ternyata dalam realita, si penerima tidak memenuhi kriteria yang ada, maka si
penerima tidak boleh mengambil uang tersebut, bahkan ia harus mengembalikanhibah tersebut
kepada pemiliknya. Karena uang itu haram baginya.
Dari keterangan
diatas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan si isteri termasuk
kategori ghoshobsehingga berkonsekwensi uang pensiunan yang
diterima si isteri hukumnya haram karena ia tidak berhak untuk menerimanya.
Sebab pemerintah telah menetapkan bahwa orang yang berhak menerima uang
pensiunan adalah isteri yang bersangkutan selama belum menikah dengan pria
lain.
Sebenarnya, di
balik semua ketetapan ini ada sebagian ulama` yang berpendapat bahwa jikalau
pihak pemerintah tidak mengalokasikan harta baitul mal(kas negara)
ke seluruh orang yang berhak mendapatkannya secara merata, maka boleh bagi
seseorang untuk mengambil sendiri sebagian harta dari kas negara
tersebut tanpa sepengahuan pemerintah, dengan catatan ia memang
termasuk dari orang yang berhak menerima harta kas negara, misalnya ia termasuk
dari fuqara`(orang-orang fakir), atau ia tidak mampu bekerja serta
tidak ada seorang pun yang berkewajiban untuk menafkahinya demi terpenuhinya
kebutuhan hidup.
Jika
kita memandang pendapat sebagian ulama tadi, maka boleh bagi si isteri (janda
mendiang pegawai negeri) menerima uang pensiunan dari pemerintah terkait dengan
syarat ia termasuk dari orang-orang yang berhak mendapatkannya, seperti ketika
si isteri tersebut berada dalam kondisi tidak mampu bekerja, disamping itu
tidak ada orang yang menanggung kebutuhan hidupnya.
Diperbolehkan
tindakan tersebut karena memandang uang pensiun janda pegawai negeri itu
berasal dari kas negara RI (APBN/D) yang termasuk kategori hartasyubhat,
yaitu harta yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi
manusia. Dikatakan syubhat karena bila ditelusuri secara
mendetail, ternyata pendapatan negara ini berasal dari berbagai sumber, diantaranya
dari pajak, baik dari harta yang halal seperti pajak yang ditarik
dari berbagai perusahaan, pemilik bangunan atau tanah, maupun dari harta
yang haram, seperti ditarik dari kompleks-kompleks pelacuran (lokalisasi),
perjudian, diskotik, dll.
Seperti
diketahui, para fuqaha` telah menjustifikasikan bahwa mengambil harta
seseorang yang memiliki campuran antara harta halal dan haram,
seperti harta pemerintah yang lalim, hukumnya hanya makruh, tidak sampai haram,
baik pengambilannya melalui transaksi jual-beli, hutang-piutang, hadiah, hibah
dll. Hukum makruh tersebut itu ditetapkan karena tidak adanya keyakinan bahwa
harta yang diperoleh itu benar-benar murni berasal dari harta haram milik orang
tersebut. Lain hal jikalau harta tersebut nyata-nyata murni dihasilkan dari
keharaman, maka hukum mengambilnya tidak boleh atau haram.
Namun yang perlu
diingat, problematika ini belum selesai. Karena secara obyektif masalah
diperbolehkannya mengambil harta syubhat ini hanya salah satu dari beberapa
pendapat yang ada di kalangan ulama`. Sebagaimana penjelasan al-Imam
al-Ghozali, pengarang kitab fenomenalnya, yakni Ihya` `Ulumuddin, bahwa
permasalahan mengambil harta baitul mal ini terpecah menjadi
empat pendapat. Pendapat pertama haram, sebab kas negara itu adalah harta musytarak (milik
bersama) antara para orang-orang yang berhak mendapatkannya serta tidak
diketahui mana bagian tertentu yang menjadi haknya. Dengan demikian, tidak
diperbolehkan mengambil sepeserpun uang dari kas negara tersebut tanpa adanya penentuan
alokasi dari pemerintah. Kedua boleh mengambil perhari sekadar kebutuhannya
dalam satu hari. Ketiga boleh mengambil sekadar kebutuhannya dalam setahun.
Keempat mengambil sesuai dengan kadar yang ditentukan pemerintah. Jika lebih
dari itu, maka kelebihan tersebut haram hukumnya.
Jadi, terhadap
persoalan harta syubhat ini, tidak diperbolehkan si
isteri semena-mena mengikuti pendapat yang memperbolehkan
mengambilnya. Karena tindakan tersebut berada ditengah polemik para
fuqoha`. Ditambah lagi tindakan tadi memiliki resiko besar yang membahayakan
dirinya, yaitu dapat dipenjara atau mendapatkan sanksi-sanksi berat lain dari
pemerintah karena dalam hukum positif Indonesia, tindakan itu termasuk
perbuatan kriminal menyelewengkan harta negara.
Sikap yang paling aman
bagi seorang muslim dalam perkara yang syubhat ini adalah
bersikap Wara`(suatu sikap berhati-hati karena takut terjerumus
dalam keharaman). Ini merupakan identitas seorang muslim sejati yang telah
digariskan Allah melalui agama-Nya yakni Islam. Dimana dengan sifat itu seorang
muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat,
sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang
haram.
Cara semacam ini
termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz dzara'i). Disamping itu
cara tersebut merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih jauh
serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.
Selanjutnya, jika
seseorang terlanjur menerima uang pensiun yang bukan haknya, seperti tindakan wanita
yang ada dalam deskripsi masalah diatas, maka wajib baginya
untuk bertaubat dari dosa tersebut. Hal ini sesuai dengan penjelasan para
ulama` bahwasanya bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib.
Dalam kitab Is`ad
al-Rafiq dijelaskan bahwa rukun-rukun taubat adalah menyesali
dosa yang telah dilakukan, meninggalkan dosa yang telah diperbuat,
berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan beristighfar. Keempat
hal itu adalah elemen-elemen dari taubat yang sah secara syara`. Jika
semua hal itu telah terpenuhi berarti taubatnya telah sempurna.[14] Secara
global spesifikasi cara taubat yang sahadalah sebagai berikut :
v Jika
maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya
dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga, yaitu :
Ø Pertama,
hendaknya ia meninggalkan maksiat tersebut.
Ø Kedua,
ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya.
Ø Ketiga,
ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.
Jika salah
satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Lantas jika taubat itu berkaitan
dengan manusia maka syaratnya ada empat. Yaitu :
Ø Memenuhi
ketiga syarat di atas;
Ø Hendaknya
ia melepaskan hak orang lain tersebut. Jika berbentuk harta benda atau
sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan
atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau
meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah(menggunjing), maka ia
harus meminta maaf.
Jadi,
dalam pemasalahan ini si isteri wajib mengembalikan uang pensiun tadi
ke pihak pemerintah. Namun ketika ia mengembalikan uang tadi ke negara,
terkadang hal itu berpotensi menimbulkan hal-hal yang membahayakan baginya,
semisal dijebloskan ke penjara ataupun sanksi-sanksi lainnya. Ini adalah resiko
yang harus ditanggung oleh orang yang melakukan tindak pidana kriminal berupa
penipuan. Jika kondisinya demikian, maka para fuqoha` memberikan solusi berupa
uang tersebut langsung dialokasikan sendiri ke Mashalih al-Muslimin (maslahat-maslahat
kaum muslimin), seperti dialokasikan ke pembangunan jalan, rumah sakit, panti
asuhan, kepada para faqir miskin atau kepentingan umum lainnya. Intinya, ia
harus berusaha sekuat tenaga untuk bebas dari uang haram tersebut.
Dengan
demikian, taubat yang dilakukannya tidaklah cukup hanya dengan lisan
semata. Apalagi jika kalimat taubat itu tidak membekas di dalam hati, juga
tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan
taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.
Ibarat :
نهاية المحتاج ج ص 134
ومن أعطى لوصف يظن به كفقر أو صلاح أو نسب أو علم وهو في الباطن بخلافه أو كان
به وصف باطنا بحيث لو علم لم يعطه حرم عليه الأخذ مطلقا ، ويجري ذلك في الهدية
أيضا فيما يظهر ، بل الأوجه إلحاق سائر عقود التبرع بها كوصية وهبة ونذر ووقف
حاشيتا قليوبى وعميرة ج 3 ص 204
فصل صدقة التطوع سنة لما ورد فيها من الكتاب والسنة ، ( وتحل لغني وكافر ) قال
في الروضة يستحب للغني التنزه عنها ويكره له التعرض لأخذها وفي البيان لا يحل له
أخذها مظهر الفاقة ، وهو حسن وفي الْحاوي الغني بمال ، أو بصنعة سؤاله حرام ، وما
يأخذه حرام عليه انتهى.
قوله : ( وما يأخذه حرام عليه ) أي عند شيء مما تقدم ، أو عند فقد صفة أعطى
لأجلها قال شيخنا : وحيث حرم لا يملك ما أخذه ، ويجب رده إلا إذا علم المعطي بحاله
فيملكه ، ولا حرمة إلا إن أخذه بسؤال أو إظهار فاقة فيملكه مع الحرمة ، وفي شرح
شيخنا وحيث أعطاه على ظن صفة وهو في الباطن بخلافها ولو علم به لم يعطه لم يملك ما
أخذه ، ثم قال : ويجري ذلك في سائر عقود التبرع كهبة وهدية ووقف ونذر ووصية فراجعه
.
إعانة الطالبين للسيد أبي بكر بن السيد محمد شطا الدمياطي، ج2 ص241
(فائدة) قال في المجموع: يكره الأخذ ممن بيده حلال
وحرام كالسلطان الجائر وتختلف الكراهـة بقلة الشبهة وكثرتها، ولا يحرم إلا إن تيقن
أن هذا من الحرام، وقول الغزالي: يحرم الأخذ ممن أكثر ماله حرام، وكذا معاملته شاذ اهـ
الفتاوي الفقهية الكبرى للإمام شهاب الدين أحمد بن محمد بن علي بن حجر
الهيتمي، ج 2 ص 153
)وسئل) رضى الله عنه ما حكم عطايا أرباب ولايات زماننا ؟ )فأجاب) بقوله عطايا الولاة قبلها قوم من السلف، وتورع عنها
آخرون فيجوز قبولها مالم يتحقق في شيئ منها أنه محرم كمكس أو نحوه فلا يجوز قبوله،
وأما مع عدم ذلك التحقق فالقبول جائز، وأما
قول الغزالي: لا يجوز معاملة من أكثر ماله حرام فضعيف كما قاله النووي في شرح
المهذب، بل المعتمد جواز معاملته والأكل مما لم يتحقق حرمته من ماله.
المجموع ج 10 ص 510
(فرع) قال الشيخ أبو حامد فى تعليقه وصاحب البيان عن الأموال
المأخوذة من السلطان الجائر بجياية الحرام كالمكس والمصادرة ونحو ذلك: لها حكم
معاملة من فى ماله حرام وحلال فيفرق بين قلتها وكثرتها وتختلف الكراهة فى التخفيف
والتشديد بحسب ذلك، ولا يكون ذلك حراما إلا إذا تيقن أن هذا من الحرام الذى يمكن
معرفة صاحبه، سواء دفع السلطان ذلك جائزة أو فى
معاملة. فرع: هذا الذي ذكرناه هو كلام الشفعى وجميع الاصحاب، وشذ الغزالي
فقال في الإحياء في كتاب الحلال والحرام: إنه يحرم مبايعة من أكثر ماله حرام، وأخذ
المال من السلطان إذا كان أكثر مال السلطان حراما كما هو الغالب. وهذ الذى قاله شاذ
مردود، وليس من مذهبنا، وإنما حكاه أصحابنا عن الأبهري المالكي اهـ
المجموع شرح المهذب - ج9 ص 350
(فرع) قال الغزالي لو لم يدفع السلطان إلى كل المستحقين حقوقهم من بيت
المال فهل يجوز لآحادهم أخذ شئ من بيت المال قال فيه أربعة مذاهب (احدها) لا يجوز
أخذ شئ اصلا ولا حبة لانه مشترك ولا يدرى حصته منه حبة أو دانق أو غيرهما فهذا غلو (والثانى)
ياخذ كل يوم قوت يومه فقط (والثالث) ياخذ كفايته سنة (والرابع) ياخذ ما يعطى وهو
حصته والباقون يظلمون قال الغزالي وهذا هو القياس لان المال ليس
مشتركا بين المسلمين كالغنيمة بين الغانمين والميراث بين الورثة لان ذلك ملك لهم
حتى لو ماتوا قسم بين ورثتهم وهنا لو مات لم يستحق وارثه إرث شئ وهذا إذا صرف إليه
ما يليق صرفه إليه.
المجموع شرح المهذب – ج 9 ص 352-351
(فرع) قال الغزالي إذا وقع في يده مال حرام من يد السلطان قال قوم
يرده إلى السلطان فهو أعلم بما يملك ولا يتصدق به واختار الحارث المحاسبى هذا وقال
آخرون يتصدق به إذا علم أن السلطان لا يرده إلى المالك لان رده إلى السلطان تكثير
للظلم قال الغزالي والمختار أنه ان علم أنه لا يرده على مالكه فيتصدق به عن مالكه
(قلت) المختار أنه إن علم أن السلطان يصرفه في مصرف باطل أو ظن ذلك ظنا ظاهرا لزمه
هو أن يصرفه في مصالح المسلمين مثل القناطر وغيرها فان عجز عن ذلك أو شق عليه لخوف
أو غيره تصدق به على الاحوج فالاحوج واهم المحتاجين ضعاف اجناد
المسلمين وان لم يظن صرف السلطان اياه في باطل فليعطه إليه أو إلى نائبه ان أمكنه
ذلك من غير ضرر لان السلطان اعرف بالمصالح العامة وأقدر عليها فان خاف من
الصرف إليه ضررا صرفه هو في المصارف التى ذكرناها فيما إذا ظن انه يصرفه في باطل.
بدائع الصنائع -الحنفية -ج4 ص 113-114
( فصل ) : وأما ما يوضع في بيت المال من الأموال فأربعة أنواع : أحدها زكاة
السوائم ، والعشور وما أخذه العشار من تجار المسلمين إذا مروا عليهم ، والثاني خمس
الغنائم ، والمعادن ، والركاز ، والثالث خراج الأراضي وجزية الرءوس وما صولح عليه
بنو نجران من الحلل وبنو تغلب من الصدقة المضاعفة وما أخذه العشار من تجار أهل الذمة
والمستأمنين من أهل الحرب ، والرابع ما أخذ من تركة الميت الذي مات ولم يترك وارثا
أصلا ، أو ترك زوجا ، أو زوجة وأما مصارف هذه الأنواع ، فأما مصرف
النوع الأول فقد ذكرناه . وأما النوع الثاني وهو خمس الغنائم والمعادن والركاز
فنذكر مصرفه في كتاب السير ، وأما مصرف النوع الثالث من الخراج وأخواته فعمارة
الدين ، وإصلاح مصالح المسلمين وهو رزق الولاة ، والقضاة وأهل الفتوى من العلماء ،
والمقاتلة ، ورصد الطرق ، وعمارة المساجد ، والرباطات ، والقناطر ، والجسور ، وسد
الثغور ، وإصلاح الأنهار التي لا ملك لأحد فيها . وأما النوع الرابع فيصرف
إلى دواء الفقراء ، والمرضى وعلاجهم ، وإلى أكفان الموتى الذين لا مال لهم ، وإلى
نفقة اللقيط وعقل جنايته ، وإلى نفقة من هو عاجز عن الكسب وليس له من تجب عليه
نفقته ونحو ذلك وعلى الإمام صرف هذه الحقوق إلى مستحقيها والله أعلم .
حاشية البجيرمي على المنهاج – ج9 ص 404 المكتبة
الشاملة
( كتاب الغصب ) الأصل في تحريمه قبل الإجماع آيات كقوله تعالى : { لا تأكلوا
أموالكم بينكم بالباطل } أي لا يأكل بعضكم مال بعض بالباطل وأخبار كخبر { إن
دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام } رواه الشيخان ( هو ) لغة : أخذ الشيء
ظلما وقيل أخذه ظلما جهارا وشرعا : ( استيلاء على حق غير ) ولو منفعة كإقامة من
قعد بمسجد أو سوق أو غير مال ككلب نافع وزبل ( بلا حق ) كما عبر به في
الروضة بدل قوله كالرافعي عدوانا فدخل فيه ما لو أخذ مال غيره يظنه ماله فإنه غصب
وإن لم يكن فيه إثم
[5] Syihabuddin
al-Qolyubi dan Ahmad al-Burlusi `Umairah, Hasyiyata al-Qolyubi Wa
`Umairah, vol 3 hal 125.
[6] Sulaiman
bin Muhammad al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami `Ala al-Khathib vol
10 hal 17, al-Maktabah Syamilah Ishdar Tsani
[13] Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Nahwy
al-Andalusy, Al-bahr al-Muhith, vol 4 hal 117, al-Maktabah
al-Syamilah Ishdar Tsani